Menjadi Imigran


Secara umum orang Belanda tidaklah rasis, mereka justru termasuk toleran dan ramah. Tapi housing crisis dan naiknya biaya hidup mau tidak mau meningkatkan tekanan di masyarakat. Ditambah dengan ulah beberapa oknum imigran, persepsi orang Belanda terhadap pendatang tidak sedang dalam tren positif.


Populasi sebuah negara naik itu biasa bahkan perlu. Tapi ada beda antara naik karena angka kelahiran dan naik karena imigran. Lahirnya 1 juta anak-anak beda dengan datangnya 1 juta orang dewasa baru dalam kaitannya dengan housing, lapangan kerja, dan hubungan sosial. Masuknya banyak imigran ke Belanda ini di satu sisi diperlukan karena negara ini perlu lebih banyak orang untuk menggerakkan ekonominya, tapi di sisi lain dampak sosial yang ditimbulkan kadang tidak sesuai yang diharapkan dan sulit dikendalikan.

Orang-orang Eropa timur banyak datang untuk bekerja. Secara umum mereka disambut baik karena mau mengerjakan hard labour yang dihindari para dutchies. Pendatang dari Polandia misalnya, mereka terkenal banyak bekerja di pergudangan dan ekspedisi. Banyaknya jumlah mereka membuat toko-toko Polandia yang menjual barang-barang impor dari Eropa timur tersebar dimana-mana, on par dengan toko Asia/oriental.

Sementara pendatang dari Asia Timur dan Tenggara, meskipun secara looks sangat berbeda dengan orang lokal, mereka tidak banyak tingkah, willing to integrate, sopan, dan restoran-restorannya dikenal enak sehingga jarang dianggap masalah. Kelompok ini juga datang dengan tujuan yang jelas seperti belajar atau bekerja. Mereka juga secara umum tidak terlalu menancapkan akar di sini, artinya punya rencana untuk setelah sekian tahun akan keluar dari Belanda, entah kembali ke negara asal atau pindah ke negara lain. 

Khusus untuk Indonesia, orang Belanda seperti punya soft spot karena hubungan sejarah dan banyaknya orang Indonesia yang menikah dengan locals. Bahkan menurut agency statistika pemerintah Belanda, Indonesia dikategorikan sebagai 'westeners' bersama orang-orang dari Eropa, US, Australia, NZ, dan Jepang. Posisi Indonesia semakin unik karena semua itu terjadi di tengah fakta bahwa mayoritas pendatangnya culturally atau nominally Muslim. This brings us to the next point.

Paham sekuler mulai berkembang di Belanda sejak tahun 1960an. Kini agama semakin ditinggalkan dan dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Merry Christmas diganti dengan Happy Holiday, Sinterklas bukanlah Santa Claus, minggu bukan lagi hari yang sakral, dan gereja-gereja semakin sepi bahkan kosong. Orang Belanda bukan meninggalkan kekristenan, tapi meninggalkan agama secara umum. Maka ketika banyak migran dari negara muslim datang, membentuk komunitas, membangun masjid, dan menjalankan agamanya, mereka tidak 100% disambut hangat, I'll put it that way.

Inilah kenapa migran dari MENA (Middle East & North Africa) tidak seberterima migran dari Eropa Timur dan Asia. Selain faktor propaganda media barat soal dunia Islam, pendatang dari MENA ini memang lebih ekspresif dalam beragama jika dibandingkan migran Indonesia atau Malaysia. Mereka membangun tempat ibadah yang besar dan kelihatan bahwa itu masjid, lalu menjadikan lingkungannya terlihat terlalu Arabic/Turkish. Banyak diantara mereka yang pindah kesini memang untuk menetap dan membentuk keluarga besar. As a muslim mungkin tidak masalah, tapi kalau dilihat dari kacamata warga lokal wajar kalau mereka merasa risih.

Belum lagi oknum-oknum seperti 'arab kids on fatbike' menjadikan kelompok ini overrepresented dalam pemberitaan-pemberitaan negatif. Bahkan ketika banyak dari imigran MENA ini bisa berbahasa Belanda dan lebih terintegrasi, itu tampak tidak terlalu menolong di tengah kondisi masyarakat yang capek sebab biaya hidup yang makin tinggi dan housing yang makin susah dicari. 

Melihat imigran dari sudut pandang locals, wajar jika mereka terganggu dengan influx yang tak terkendali. Apalagi jika para pendatang ini membawa dan menunjukkan warna hidup yang berbeda dan mencolok. Saya membayangkan jika sedang makan di sebuah restoran di Jakarta lalu tidak ada satupun dari pelayannya yang bisa bicara bahasa Indonesia tentu menyebalkan sekali. Itulah yang juga dirasakan dan ditakutkan orang Belanda asli ketika harus menggunakan bahasa Inggris untuk keperluan sehari-hari karena lawan bicaranya belum bisa Dutch. Meskipun mereka terkenal sangat fasih berbahasa Inggris, tapi hassle-hassle kecil seperti ini akan tetap terasa melelahkan.

Belum lagi para pendatang mengisi posisi-posisi di pekerjaan secara tidak merata. Industri-industri yang berkembang di Belanda banyak menyerap tenaga kerja luar negeri, tapi sektor seperti healthcare dan pendidikan tidak. Maka seolah semua baik-baik saja padahal nyatanya anak-anak akan belajar di ruang kelas yang semakin penuh dan orang-orang perlu mengantre lebih lama untuk mendapat layanan kesehatan atau sekedar terdaftar di general practicioner. Itu efek-efek sosial lain yang disebabkan imigrasi.

Tapi sebenarnya kemarahan ini tidak semata-mata ditujukan pada para migran, tapi juga pada pemerintah Belanda yang dianggap terlalu santai dan terbuka terhadap pendatang. Pemerintah dianggap menerima terlalu banyak pencari suaka dan memberikan terlalu banyak benefit terhadap pendatang. Di sisi lain pemerintah dibilang lamban dalam menyediakan housing baru sehingga kini terjadi krisis hunian. 

Tapi pemerintah juga kepepet karena kebutuhan industri tidak bisa dipenuhi oleh tenaga kerja dari dalam negeri saja. Bahkan ketika corak pemerintah Belanda kini sayap kanan, tekanan dari industri seperti ASML sangat kuat hingga pemerintah tidak bisa begitu saja menutup keran imigrasi. Kalau perusahaan dilarang merekrut dari luar mereka akan mencabut usahanya dari Belanda yang berarti hilangnya potensi ekonomi yang sangat besar. 

Terakhir, dari sisi migran, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung mestinya bukan sekedar peribahasa. Penting sekali menghargai budaya dan komunitas lokal selama itu tidak bertentangan dengan prinsip. Orang Belanda itu sudah sangat baik mentolerir rookie mistake yang dibuat para pendatang, ramah menyapa walaupun looks-nya berbeda, dan secara umum baik dengan tetangga. Maka pendatang juga mesti sensitif dengan apa yang terjadi di sekitar, berusaha mengintegrasikan diri, dan sebisa mungkin aktif mempelajari bahasa setempat. 

Saya bekerja di tempat yang secara aturan bahasa resminya adalah English. Tapi ketika saya pamit pulang dengan bilang fijne avond, lebih hangat sambutannya daripada sekedar good evening. 

Thanks,
Chandra

0 comments :

Post a Comment