Bar & Borrel
Seumur-umur di Indonesia saya belum pernah sekalipun masuk ke bar. Setiap lewat jalan Prawirotaman, Braga, atau Senopati saya cuma mbatin seperti apa ya dalamnya. Bayangan saya soal bentuk dan suasana bar cuma datang dari TV dan film-film. Saya nggak berminat datang sendiri karena bingung di dalam pesannya gimana. Kalaupun ada acara selebrasi atau semacamnya lebih sering makan di restoran daripada party ke bar. Genre bar yang mungkin bisa saya nikmati (berdasarkan imaji dari film lagi-lagi) adalah sports bar di mana babe-babe dan abang-abangan nobar bola atau baseball di hari minggu siang.Akhirnya kemarin saya masuk ke real proper bar karena mengikuti agenda setempat. Saya baru tahu kalau bar itu hanya serve minuman dan snack tanpa makan besar. Secara tempat pun tidak cocok untuk lunch atau dinner karena lantainya dibuat 'sempit' dan mejanya didesain untuk ngobrol bukan untuk makan. Kursinya tinggi dan mejanya pendek sehingga tidak nyaman untuk nyendok. Orang duduk dempet-dempetan dan semuanya bicara bersahutan dan berisik. Ngomong di bar harus setengah teriak agar terdengar.
Sebenarnya panitia sudah considerate dengan melayangkan survei sebelumnya. Tentu di survey itu saya pilih preference vegetarian dan halal. Orang barat memang menganggap serius diet preference, vegeratian/vegan, dan alergi. Tapi saya tidak berekspektasi mereka menyediakan burger dengan daging sapi halal hanya karena pilihan segelintir orang. Jadi saya sudah menyiapkan mitigasi sendiri dengan ngecek menu bar itu sebelum acara.
Di meja tersaji beberapa botol wijn dengan gelasnya. Siapapun yang mau minum bisa nuang sendiri tanpa perlu bayar. Tapi sebagai bukan peminun wine saya pesen es teh dan datanglah sebotol kaca lipton ini. Walaupun ada sparklingnya yang saya kurang suka tapi minimal saya punya sesuatu untuk dituang dan ikut bersulang. Makanannya saya comot-comot yang berbasis tumbuhan seperti kentang goreng dan keripik tortila. Beruntung ternyata servernya kemudian datang membawa senampan penuh burger vegerarian dengan daging dari turunan kedelai. Saya ambil satu.
Atmosphere-wise bar bukan my piece of cake. Tapi it's oke karena it's not only about drinks. Ada setor mukanya, ada ngobrolnya, ada networkingnya, dan ada ketemu orang barunya. Lagipula beberapa orang juga tahu saya tidak minum. Beberapa tahu saya muslim dan walaupun mereka tidak sepenuhnya familiar dengan dos and don'ts nya tapi setidaknya paham kalau muslim punya prinsip no alcohol.
Ini pertama kalinya saya ikut event di dalam bar. Meski begitu sebenarnya sudah berkali-kali ada acara 'time for drinks'. Drinks atau dalam bahasa lokal disebut Borrel sudah jadi budaya. Borrel tidak selalu berkaitan dengan alkohol dan mabuk, apalagi kalau dilakukan di tempat tertentu misal yang banyak anak di bawah umur atau di tempat kerja. Kalaupun ada merk-merk bir, dipilih yang kandungannya 0% alkohol. Meski begitu buat saya es teh atau soda. Borrel adalah kesempatan untuk connects, kadang-kadang sambil merayakan sesuatu yang sederhana. Borrel biasa dilakukan di lingkungan kerja, pertemanan, atau tetangga komplek.
Vrijdagmiddagborrel lebih spesifik lagi yaitu acara kumpul-kumpul, ngobrol, dan minum yang dilakukan hari jumat (vrijdag) siang (middag). Ini adalah bentuk kebiasaan work life balance orang-orang Belanda. Biasanya pada jumat siang business sudah melambat bersiap menyambut akhir pekan. Orang melakukan perayaan kecil sambil blow off steam.
Chandra
0 comments: