Pemilu
Sampai sini sudah ada beberapa hal mencengangkan buat saya sebagai orang Indonesia. Pertama kok bisa ada seorang perdana menteri memilih mengundurkan diri. Padahal dia tidak terbukti korupsi, merugikan negara, atau terlibat tindak kriminal. Dia hanya tidak bisa bersepakat dengan partai koalisinya. Lalu kekagetan nomor dua, kok bisa koalisi penguasa bubar karena alasan ideologis, apa mereka tidak dapat keuntungan ekonomi, hukum, dan politik yang eman kalau dilepas? Sementara di suatu negara yang lain partai dan ormas ramai-ramai nempel ke penguasa.
Perdana menteri Belanda tidak dipilih secara langsung melainkan 'lewat DPR'. Pemilu dilakukan untuk menentukan berapa kursi parlemen yang diperoleh masing-masing partai. Dalam tweedekamer ada 150 kursi yang diperebutkan oleh 27 partai. Nantinya partai pemenang akan membentuk koalisi setelah hasil pemilu diketahui, bukan sebelum. Tujuan dibentuknya koalisi adalah untuk mencapai jumlah kursi mayoritas yaitu 76 kursi, tahun ini kemungkinan itu akan dicapai dengan koalisi 4 partai. Partai-partai koalisi akan membuat government agreement dan biasanya pemimpin dari partai pemenang pemilu akan jadi perdana menteri. Partai yang tidak bergabung dalam koalisi pemerintah akan berperan sebagai oposisi.
Sekarang setelah hasil pemilu diketahui coalition talk akan segera terjadi. Ini tidak selalu mudah karena setiap partai punya ideologi masing-masing yang mereka pegang secara sangat serius. Progresif ya progresif, konservatif ya konservatif. Batasan antara sayap kanan, tengah, dan kiri sangat jelas. Lagi-lagi saya heran, apa di sini tidak ada insentif bagi partai-partai itu dan pimpinannya untuk 'menggadaikan' idealisme demi keuntungan jangka pendek? Jualan partai-partai juga jadi jelas, ada yang fokusnya ekonomi, pendidikan, pedesaan, hukum, imigrasi, iklim, keluarga, sampai lingkungan hidup. Ada partai yang namanya Partij voor de Dieren (Party for Animal), dari namanya saja kita bisa tahu kira-kira mereka misinya apa. Ada juga partai 50+ yang menyuarakan hak-hak orang tua.
Lalu apa efeknya pemilu kali ini bagi kami-kami? Walaupun partai-partai kanan masih punya suara, tapi lengsernya PVV dari pucuk parlemen adalah kabar gembira bagi imigran secara umum. Rezim Geert Wilders meradiasikan kekhawatiran bagi para pendatang karena dia sangat vokal menyuarakan paham anti-imigran. Sampai batas tertentu saya mengerti ini untuk menjaga Dutch identity dan melindungi hak warga asli, tapi caranya bersuara sering berlebihan dan bernada mengancam. Padahal saya pribadi sebagai imigran tidak ingin macam-macam, sekedar menjalankan fungsi di masyarakat dan berusaha menjadi warga yang lurus. Saya rasa rata-rata migran Indonesia begini, bahkan banyak yang secara sosial sudah menyatu dengan warga lokal secara mulus.
Di sini lain D66 lebih mengedepankan kesetaraan dan inklusi, semua orang punya hak yang sama. Pemimpin D66 Rob Jetten, yang kemungkinan akan jadi next PM, secara terbuka bahkan menyuarakan dukungan untuk Palestina (memposting gambar semangka dalam kampanyenya). Tabel di bawah adalah posisi partai-partai dalam isu genosida di Palestina, semakin ke kiri semakin hijau artinya mereka mendukung Palestina atau setidaknya perdamaian, semakin ke kanan sebaliknya. Bisa dilihat D66 ada di kolom nomor 2 dari kiri, sementara PVV (lambang burung) ada di paling kanan.
Tapi tidak serta merta D66 segerbong dengan pemilih muslim. Saking menjunjung kesetaraannya, mereka juga permisif pada komunitas lain misalnya LGBT. Mereka juga punya paham bahwa aborsi adalah HAM. Koalisi yang akan terbentuk juga masih mungkin beraliran center-right, walaupun tidak akan seekstrem ketika PVV in charge. Jadi ini tidak 100% win juga untuk migran-Indonesia-muslim seperti kami-kami ini.
Di sini saya akhirnya mendapat gambaran lebih jernih tentang bagaimana politik bekerja. Walaupun demokrasi itu sendiri punya flaw, tapi saya membayangkan andaikan saya warga negara Belanda saya bisa memilih partai karena ide yang akan mereka bawa. Saya bisa sesuaikan dengan posisi dan sudut pandang saya sebagai migran, profesional, pemuda, dan muslim. Saya juga bisa menilai kesesuaian pandangan terkait isu yang saya anggap penting misalnya globalisasi, ekonomi, dan climate change. Ketika memilih by ideologi bukan serangan fajar atau gimmick, jadi lebih mudah juga memahami jika ada orang yang punya pilihan berbeda. Pilihan tak harus sama, bahkan andai pilihan saya kalah pun saya terima asalkan semuanya berjalan dengan fair.
Pada akhirnya pemilu seharusnya kuat-kuatan visi misi bukan banyak-banyakan logistik. Tidak perlu ada kongkalikong antara calon penguasa dan pengusaha, tidak perlu ada pihak tersandera, tidak perlu hire buzzer dan influencer besar-besaran, tidak perlu menyiapkan dana serangan fajar. Pemilu jadi jauh lebih murah, apalagi ketika wilayah negaranya hanya seluas Jawa Barat dengan jumlah penduduk hanya setara Jakarta raya. Ketika ongkos pemilu tidak mahal, seharusnya tendensi untuk curang sebelum dan saat menjabat bisa berkurang.
Golongan simpatisan ngehe yang membuat hate comment di media sosial atau vandal di fasilitas umum tetap ada, tapi secara besarnya pemilu berjalan damai. Sunyi di jalan-jalan tapi ramai di TPS, partisipasi pemilih hampir menyentuh angka 80%. Hari pemungutan suara tidak dijadikan hari libur tapi TPS buka dari pagi hingga jam 8 malam. Metode pemungutan suaranya secara manual dengan menyontreng kertas suara yang ukurannya besar sekali. Tingginya partisipasi salah satunya dikarenakan fleksibilitas lokasi pemilihan. Siapapun yang punya hak pilih boleh memilih dari TPS mana saja tidak harus sesuai domisilinya. Bahkan di beberapa stasiun besar ada TPS yang buka untuk melayani para commuter.
Di sini akhirnya saya mengerti esensi slogan "pemilu damai", "pendidikan politik", dan "pesta demokrasi". Saya tidak terlalu hobi untuk membandingkan Belanda dan Indonesia dalam hal fasilitas, lingkungan, ekonomi, dan semacamnya karena menurut saya tidak bisa dibandingkan. Tapi dalam hal berpolitik, saya berharap Indonesia bisa segera sedewasa ini. Saya yakin saya bukan satu-satunya yang lelah dengan apa yang terjadi di beberapa pemilu terakhir.
Disclaimer: opini ini mengandung bias karena saya masih berjarak dengan kondisi sebenarnya disebabkan keterbatasan bahasa dan bubble. Pengetahuan saya terkait lanskap politik dan sosial juga masih dangkal. So please take with a grain of salt.
Chandra
gambar:
1. Clean Energy Wire
2. The Rights Forum
3. RTL Nieuws
0 comments: