Generasi Peminum Kopi

Ada perbedaan pada cara saya, dan mungkin kita, dalam memakai Instagram antara dulu saat pertama kali buat akun (2014-an) dan sekarang. Dulu jejaring yang terbentuk didominasi orang yang memang sudah kenal. Mungkin 70% dari following adalah kenalan langsung, sisanya baru akun publik (OG will remember infobdg), public figure (ridwankamil, radityadika, dll), dan tim olahraga favorit. Sementara kini kita dengan mudahnya terpapar konten dari orang yang sama sekali tidak kenal, lewat fitur reels misalnya. Dulu enggak karena cuma bisa upload gambar di profile.

Fitur reels ini yang kini mencekoki saya dengan konten tentang kopi. Entah kenapa, padahal saya minum kopi aja enggak. Baunya pun saya nggak tahan, termasuk bau kopiko permen. Sejauh saya ingat, saya baru minum kopi dua kali seumur hidup, pertama karena dipaksa waktu acara 'pelantikan' malam-malam pas SMA, kedua saat suatu hari bertamu disuguh kopi susu. Booming budaya kopi sejak beberapa tahun terakhir tidak membuat saya ingin ikut ngopi, kalaupun ke kedai kopi ya saya beli es teh. Kalau ke warkop pesennya nutrisari. 

Tapi banyaknya video kopi lama-lama membuat saya kepo juga soal biji satu ini. Bukan sebagai minuman tapi sebagai semacam hobi dan pemuasan curiousity. Karena saya mulai browsing soal kopi dan follow beberapa account, makin banyak lah tu konten kopi. Ada yang sering upload video ASMR saat bikin kopi, demonstrasi alat-alat rumit nan overkill di kofisyop, itung-itungan bisnis kopi, dan pendekar yang menyuarakan pendapatnya soal kopi.



Insight yang menarik menurut saya adalah adanya beberapa wave dalam budaya peminum kopi. Saya nggak nemu di komoditas lain ada yang begini. Setiap generasi peminum kopi ini ada ciri khasnya. Kalau sepaham saya, simpelnya generasi pertama adalah yang minum kopi kemasan dan orientasinya untuk memenuhi kebutuhan, mendapatkan asupan kafein misalnya. Generasi kedua adalah yang minum kopi di jaringan kedai kopi seperti St*rb*cks, Kopi Kenangan, Fore, Famima, dll sebagai lifestyle. Generasi ketiga adalah yang ngopi di kedai kopi artisan dimana minuman kopi diperlakukan sebagai seni atau kerajinan. Lalu generasi keempat adalah yang care dengan bagaimana biji kopi itu ditanam, dipanen, diroasting, dan diproses sebelum akhirnya jadi minuman.


Seorang teman dulu ada yang datang langsung ke perkebunan kopi dan menuliskan pengalamannya jadi generasi keempat peminum kopi ini, sayang sekarang saya cari tulisannya sudah nggak ada. Seru padahal, andai saya bisa minum kopi, saya akan melakukan hal yang sama dengan senang hati.

Salam,
Chandra


gambar 1: dokumentasi pribadi
gambar 2: icocoffee.org

Salah Siapa Jadi Karyawan Swasta

Karena laman resmi sudah publish, berarti saya juga sudah boleh nulis. Jadi tempat kerja saya, PT Bank Commonwealth (PTBC) sedang dalam proses penjualan dari pemilik sebelumnya yaitu Commonwealth Bank of Australia (CBA) kepada OCBC Indonesia. Kesepakatan tercapai tanggal 16 November kemarin, dan sejak hari itu sampai sekarang banyak yang terjadi di dalam, namun tentu saja tidak semua bisa saya tuliskan disini :)


Apa yang akan terjadi nanti saya juga belum tahu. Kalau lihat dari akuisisi-akuisisi yang terjadi di tempat lain ya kemungkinannya ikut ganti seragam, ambil golden handshake (yang buat saya mungkin tidak spektakuler karena masa kerja belum lama), atau pindah duluan. Selama ini cuma dengar-dengar, ternyata kalau mengalami sendiri tidak sesederhana itu ehehe

Ini hal baru lagi buat saya. Baru 6 tahun tapi jalannya sudah kelok-kelok
2017: lulus kuliah lalu masuk kerja pertama di sebuah perusahaan keluarga jalur orang dalam
2018: perusahaan itu tutup dan semua pegawai dirumahkan, seleksi 2 beasiswa gagal dua-duanya, diajak bantu-bantu riset di kampus
2019: pindah ke jakarta karena dapat kerja, akhirnya kerja di korporat walaupun masih pegawai kontrak
2020: jadi kartap, nikah dan pindah dari kosan di kuningan ke pinggiran, merasakan jadi commuter
2021: resign dan pindah ke company lain, mulai merangkak naik secara karir dan paham apa yang dikerjakan (IT), tapi perusahaannya di bidang leasing jadi agak kurang sit well dengan beberapa kerabat
2022: resign dan pindah ke PTBC, proper workplace, manajemen rapi, ilmu banyak, impact dapat
2023: kerja makin ngegrip, lagi RPM tinggi eh malah company-nya diakuisisi

Memang pilihan sendiri sih dulu memulai karir tanpa mengutamakan stabilitas wkwk Semoga saja landingnya mulus. Aamiin aamiin

Berhenti Berlangganan

Hari ini saya meng-cancel subscription Disney+ Hotstar setelah terang bahwa perusahaan ini mendukung zionis. Saya pikir hiburan yang mereka sajikan di platformnya tidak sebanding dengan penderitaan anak-anak di Palestina. Bye Neal Caffrey, Oliver Putnam, Rick Castle, Mike Scofield, etc.


Disney+ sebelumnya adalah tempat saya nonton series crime-drama-comedy seperti Prison Break, White Collar, dan OMITB. Sekarang saya sedang jalan season 2 Castle, tapi saya berhenti hari ini dan tidak memperpanjang subscription saya karena alasan yang sudah jelas. Saat muncul question alasan untuk berhenti berlangganan, saya tulis 'bdnaash campaign'. 

Terus terang lebih gampang ganti merk air mineral daripada berhenti berlangganan streaming digital. Saya terlanjur menemukan genre yang cocok, sesuatu yang selama ini saya nggak tahu sampai akhirnya ketemu Prison Break di Disney+. Let's see apakah saya bisa temukan Castle di platform lain yang tidak termasuk daftar merah.

Di luar dari faktor boikot, ada yang tidak biasa dari Disney+ Indonesia. Entah kenapa biaya langganan jika perpanjang bulan ini naik dari 39 ribu menjadi 107 ribu. Ketika merk kena boikot lain banting harga, mereka malah naik signifikan. Apakah ini last ditch effort sebelum cabut dari Indonesia? (saya sepertinya pernah nemu di twitter soal disney+ berhenti di sini, tapi coba cari lagi gak ketemu, jadi nggak terlalu yakin)

Kenapa nggak pakai bajakan aja? Nggak sreg rasanya pakai barang orang tanpa bayar, kecuali memang dibagi gratis. Sementara saya settle dengan Vidio untuk nonton bola saja.

Blow off Steam

Kalau buka Task Manager di laptop, kita bisa lihat berapa persen memori (RAM) dan prosesor yang terpakai. Semakin banyak aplikasi yang berjalan, semakin tinggi angkanya. Masing-masing aplikasi akan minta alokasi memori dan prosesor yang berbeda. Paint cuma kecil, tapi Photoshop gede. Game solitaire ringan, sedangkan game FIFA terbaru pasti berat. Browser seperti Chrome besarannya tergantung banyaknya tab yang dibuka. 

Dalam kondisi tidak ada aplikasi yang dijalankan pun sebenarnya angkanya sudah ada, karena untuk komputer bisa nyala saja sudah ada service yang berjalan di background. Kalau dalam kondisi idle begini, memori dan prosesor sehatnya dalam kisaran 10-15%.

Dalam kondisi dipakai kerja, baiknya memori berada di kisaran 50-60%, sesekali spike sampai 80% nggak masalah. Tapi kalau terus menerus diatas 80% takutnya kalau buka aplikasi baru atau ada job berat yang dijalankan seperti render atau build, aplikasi bisa crash atau bahkan komputer kena blue screen. Perih kalau kerjaan belum disave.

Nah gini, menurut saya ada kesamaan antara komputer dan manusia. Kalau komputer punya persentase RAM, manusia punya bandwidth. Beban yang dipikul seseorang, baik kelihatan atau tidak, berkontribusi pada naiknya pemakaian bandwidth. Orang yang stress-free, pemakaian bandwidth-nya mungkin di bawah 5%. Sebaliknya orang yang bandwidth-nya tinggi berarti sedang menyandang beban berat. Bisa dari manapun, pekerjaan, keluarga, pergaulan, dll. 

Sama seperti komputer yang idle tadi, manusia untuk sekedar menjalani hidup, tanpa ambisi dan target sekalipun, pasti sudah ada bandwidth yang terpakai. Banyak faktornya, dan dalam hal ini saya merasakan hidup di Jakarta ini paling banyak memakan bandwidth daripada kota lain yang pernah saya diami. Makanya di sini banyak orang gampang emosi. Jakarta ini secara fisik panas dan gerah, polusi udara salah satu yang terparah di dunia (untuk nafas saja susah), lalu lintas macet dan semrawut, tata kota di pinggirannya tidak tertata dengan baik (urban sprawl), dan tekanan sosial/kompetisi yang tinggi.

Bandung juga macet, tapi disana iklimnya enak apalagi di musim hujan. Penduduknya juga ramah dan hangat. For the record, untuk komputer pun suhu yang dingin akan membantu performanya, makanya ruang server selalu dijaga dingin dan kering. Sementara Bantul daerah pedesaan nyaris bebas dari masalah-masalah diatas kecuali dalam hal panas, karena dekat pantai. Kalau saya rasa-rasa, di Jakarta ini mungkin 40an persen bandwidth sudah terpakai untuk nggak ngapa-ngapain. Intinya susah untuk hidup enjoy di ibukota yang begini ini. (take with a grain of salt karena nggak bisa secara akurat diangkakan, beban yang dipikul atau dipendam orang beda-beda dan tak ada yang tahu)

Dengan bandwidth yang sudah terpakai banyak, wajar kalau orang Jakarta sering burn out. Ketika beban tambahan cukup besar, bandwidth bisa habis. Kalau sudah begitu mood jadi jelek, pikiran nggak jernih, not functioning properly lah. Ini cukup jamak sampai bisa diamati dari kebiasaan orang-orangnya dalam hal mengatasi penuhnya pikiran ini.

Di Jakarta, menjadi hal yang normal untuk tidak langsung pulang setelah selesai kerja. Ada yang ke parkiran dulu untuk ngrokok sambil ngobrol, ada yang duduk-duduk diam sambil nonton drama di HP, ada yang masuk warmindo untuk ngopi.Ada yang beli batagor atau tahu gejrot, duduk makan santai tanpa ngobrol tanpa apa-apa. Di masjid-masjid yang ada di jalur orang pulang kerja, setelah maghrib banyak yang leyeh-leyeh dulu nggak langsung lanjut jalan. Selain capek fisik karena commute jauh, juga untuk mendinginkan pikiran. 

Semua itu untuk blow off steam. Setelah seharian beraktivitas bandwidth selalu dalam kondisi tinggi. Laptop saja kalau dipaksa kerja keras akan panas dan berisik. Butuh pendinginan supaya nanti sampai di rumah mood sudah lebih baik dan pikiran sudah lebih enteng. Mending sampai rumah 15 menit lebih lambat tapi sudah enak daripada cepat sampai tapi buka pintu sambil cemberut. Kalau ngekos sendiri sih nggak masalah, cooling down bisa dilakukan di kosan. Tapi kalau ada keluarga di rumah, ya itu tadi yang biasa dilakukan.

Jakartans nggak ramah, Jakartans cuek-cuek. Yaa mungkin disitu ada andil tingginya kadar stres orang-orang. Saat pandemi kemarin dipaksa untuk berubah, rutinitas terdisrupsi, akhirnya banyak juga orang yang memikirkan ulang apakah rutinitas seperti ini sehat. Beberapa orang yang saya kenal mencoba mencari arragement baru yang memungkinkan untuk menurunkan pemakaian bandwidth sambil tetap produktif, termasuk dengan meninggalkan Jakarta bahkan.

Big respect untuk semua pejuang keluarga.

Cheers,
Chandra



Maiden Flight

Waktu masih menekuni pesawat terbang dulu, kalau kita mau membuat sebuah UAV (Unmanned Aerial Vehicle) atau drone, selalu dimulai dengan proses simulasi. Ada software yang namanya Catia, disana kita bisa buat model 3 dimensi dari UAV yang sedang dirancang. Bentang sayapnya berapa, airfoilnya jenis apa, sudut-sudutnya bagaimana, dan lain sebagainya. Sayap, body, ekor, dan bagian lainnya bisa dimodelkan. Kita jadi bisa tahu perkiraan performa aerodinamika dan stability-nya


Kita juga bisa modelkan sampai level materialnya sehingga diperoleh perkiraan berat pesawat. Komponen elektronik juga bisa diatur peletakannya sehingga kita bisa tahu pusat massa ada dimana. Hasil 'ramalan' aerodinamika dan kestabilan ini kemudian dibandingkan dengan referensi, jika ada yang belum sesuai bisa dilakukan iterasi di komputer. Bayangkan kalau barangnya harus dibuat dulu baru dites dan direvisi, akan memakan waktu dan biaya yang buanyak.

Tidak sampai disitu, supaya lebih yakin lagi dengan performanya, model yang telah dibuat tadi diuji dengan CFD (Computational Fluid Dynamics). Dengan CFD kita bisa dapat visualisasi aliran di sekitar pesawat tersebut beserta interaksinya. Kita bisa peroleh data yang cukup akurat tentang perkiraan gaya angkat, gaya hambat, dan gaya/momen lainnya. Dari sana kita bisa turunkan data cruise speed, max speed, endurance, range, maximum take off weight (MTOW), take off speed, dll. Angka-angka ini kemudian dibandingkan dengan referensi dan spesifikasi yang diinginkan. 

Jika hasil simulasi belum sesuai, iterasi diulang dengan mengubah desain. Perlu educated guess disini agar hasil revisinya mengarah ke arah yang benar. Salah satu bantuannya adalah kita bisa mencari pesawat pembanding yang mirip dengan yang mau kita buat, itu bisa dijadikan referensi desain walaupun tentu tidak ditiru 100%. Ketika sudah sesuai, model yang diuji tadi dibuat technical drawingnya untuk kemudian mulai dilakukan manufaktur prototype. Prototype ini tidak langsung diterbangkan, ada pengujian berikutnya dengan wind tunnel.

Wind tunnel atau terowongan angin digunakan untuk menguji aliran udara dan efeknya terhadap prototype yang dibuat. Kalau CFD tadi adalah simulasi komputer, wind tunnel menggunakan benda fisik. Benda uji diletakkan di dalam terowongan angin kemudian dikenai aliran udara dengan kecepatan tertentu. Ada alat ukur yang menunjukkan besaran dan arah gaya yang muncul pada benda saat dialiri udara. Amazed sih waktu dulu pertama kali lihat cara kerjanya. Udara, karena tidak terlihat, sering dianggap powerless, tapi ternyata ketika ada interaksi dengan permukaan benda bisa muncul gaya yang besar. Benda uji tidak disentuh, tapi bisa bergerak. Untuk keperluan visualisasi kadang di wind tunnel dibuat smoke sehingga kita bisa lihat lebih jelas aliran udaranya. Selain wahana terbang, mobil dan motor balap juga lazim menggunakan wind tunnel saat pengembangannya.

Ketika sudah selesai simulasi komputer dan wind tunnel, serta angka yang dihasilkan konsisten, UAV tersebut siap untuk diproduksi versi terbangnya. Setelah jadi, dilakukan penerbangan perdana atau yang biasa disebut maiden flight. Proses yang panjang tadi dilakukan untuk memastikan wahana yang dibuat siap terbang, punya performa yang diinginkan, bisa dikendalikan, dan tidak mudah jatuh.

Itu tadi gambaran proses pengembangan UAV dimana ada privilege untuk melakukan simulasi dan iterasi berulang-ulang. Beda dengan kehidupan ini yang tanpa persiapan tahu-tahu ujian. Setiap keputusan adalah maiden flight. Dalam maiden flight, UAV yang sudah dikaji saja biasa crash, apalagi kita. Jadi kalau keputusan yang  diambil ternyata kurang tepat, wajar. Kalau crash, ambil patahan sayap pesawat kita, simpan dan museumkan, sebagai pengingat bahwa kita pernah di sana. UAV bisa dibangun lagi.


Chandra

Transplantasi Lapangan Tengah

Musim ini Liverpool jadi menyenangkan lagi untuk ditonton. Midfield benar-benar baru, Henderson Milner Fabinho Keita Ox semuanya hengkang, diganti Szoboslai MacAllister Gravenberch Endo yang datang. Keempatnya nggak ada yang flop dan dapat kepercayaan penuh dari Klopp. Transplantasi midfield yang sukses.


Yang paling membedakan Liverpool musim ini dan kemarin adalah predictability. Tahun lalu lapangan tengah selalu diisi Hendo dan Fabinho, plus satu lagi pemain siapapun yang lagi nggak cedera. Masalahnya ini di 2022 bukan 2018-2019 dimana dua pemain itu sedang bagus. Sekarang Klopp punya jauh lebih banyak pilihan. Selain Szobo Mac Graven dan Endo tadi, ada Jones dan Elliot yang makin matang, serta Thiago dan Bajcetic juga sebentar lagi sembuh dari cedera. Total 8 first team players siap ngisi 3 posisi.

Di depan pun sama, dari 3 posisi yang ada hanya 1 yang permanently booked yaitu Mo Salah di kanan. Sementara 2 pos lain bisa diisi oleh Gakpo, Jota, Nunez, dan Diaz, masing-masing dengan tipe yang berbeda. Gakpo juga bisa agak turun menjadi CAM, sementara Elliot, Graven, dan Szobo bisa naik jadi false 9 atau winger. Versatility ini yang membuat Liverpool jadi menyenangkan ditonton karena ada unsur kejutan, ditambah sekarang lebih sering menang.


Di lini belakang sih nggak perlu banyak kejutan karena yang diinginkan stabilitas. Mungkin musim depan saatnya regenerasi saja, Virgil semakin tua, Matip dan Gomez sudah lewat masanya, plus cari suksesor Robertson. Dari beberapa youngster yang dicoba, baru Quansah yang kelihatan punya first team material. Tugas lain tentu saja mencari penerus Mohamed Salah, ini yang berat.

Klopp's Liverpool 2.0 is in motion!


Cheers,
Chandra

Reclaiming Life from Work



Dulu saya pikir cara untuk tetap waras menghadapi tekanan pekerjaan adalah dengan memiliki aktivitas lain di luar itu seperti main game, baca buku, olahraga, atau liburan dalam jumlah yang cukup. Tentu itu bisa membantu, tapi dari buku ini saya menemukan bahwa ada satu hal yang sering terlupa yaitu memiliki hubungan baik dengan pekerjaan itu sendiri. Bukan hanya dengan orang-orangnya, tapi juga dengan waktunya, aktivitasnya, tuntutannya, dan dinamikanya.

Game, olahraga, dan liburan adalah sesuatu yang berada di luar lingkaran pekerjaan. Menenggelamkan diri padanya bisa sejenak menghilangkan stres dengan cara mengambil alih fokus kita menjauh dari pekerjaan. Tapi ketika sudah kembali bekerja, ya bisa buneg lagi. Kita butuh sesuatu in-house yang bisa jadi penolong. Salah satunya adalah memastikan pekerjaan masih dalam kontrol kita, bukan pekerjaan yang mengontrol kita. Sebelumnya saya sempat menulis tentang orang-orang yang konsisten salat tepat waktu di tengah kesibukan. Salah satu faktornya adalah mereka menguasai apa yang mereka lakukan. 

Baca juga: Prioritas

Banyak hal menarik yang bisa diambil dari buku The Good Enough Job. Saya merasa tidak cukup kalau hanya dituangkan dalam dua halaman review di story instagram. Di sampul buku ini tertulis jelas 'Reclaiming Life from Work'. Terdengar seperti ajakan untuk mengurangi bekerja ya. Faktanya kita sudah terlalu banyak menghabiskan energi dan waktu untuk satu hal saja, yaitu pekerjaan. Sampai lupa bahwa kita punya fungsi lain yaitu sebagai anggota keluarga, saudara, tetangga, anggota komunitas, umat beragama, dll. Jadi sedikit menarik diri dari pekerjaan dan membagi fokus dengan lebih berimbang akan menjadikan kita better human, lalu pada gilirannya better employee.

Ditambah lagi, menggantungkan diri pada satu hal saja bukanlah hal yang bijak. Terlalu fokus pada pekerjaan menjadikan kita adalah pekerjaan tersebut. Takutnya kalau terjadi sesuatu pada satu hal itu kita kehilangan pegangan dan jatuh. Itulah kenapa di beberapa tempat orang yang akan pensiun diberikan pelatihan keterampilan. Harapannya supaya mereka tidak kosong ketika pensiun nanti. Bukan cuma masalah duit atau waktunya, tapi sampai di level kepercayaan diri dan anggapan terhadap identitas dirinya.

'Bekerja' di buku ini bisa diartikan secara luas ya, bukan hanya karyawan/buruh. Presiden juga bekerja. Petani dan pedagang juga bekerja walaupun mereka sendiri juga bosnya jika yang digarap sawah dan toko sendiri. Founder start-up, either dibiayai SoftBank, BlackRock, atau ayah sendiri, juga bekerja. Profesi yang diwawancara oleh penulis ranging dari pemuka agama, jurnalis yang menapaki karir dari majalah kampus hingga media internasional, investmen banker yang menjadi salah satu managing director termuda, juru masak yang kemudian mendirikan perusahaan sendiri dan menjadi CEO, software engineer google yang tidur makan mandi di kantor, sampai anak agency. Penulis sendiri, Simone Stolzoff adalah ex-design lead di IDEO. 


Seperti yang saya tulis di instagram, para ambis itu pada satu titik kehilangan kenikmatan dari apa yang dikerjakan. Sebagian dari mereka memutuskan resign dan mencari 'kehidupan' yang lain. Ini tidak semudah kelihatannya, karena selama bertahun-tahun mereka telah menempelkan identitasnya pada pekerjaan yang dilakoninya. Yang tadinya koki, setelah resign tidak tahu lagi siapa dirinya. Sebagian lagi membuat batasan baru antara dirinya dan pekerjaannya. Si software engineer tidak mau lagi menyebut dirinya Googler, menggantinya dengan 'orang yang kerja di Google'. Dia juga memutuskan sewa apartemen.

Setiap bab dalam buku ini mempunyai satu sosok sentral yang diceritakan dan menjawab satu mitos dalam hubungan manusia dan pekerjaannya.

Bab 1: For What It's Worth - on the myth that we are what we do
Bab 2: The Religion of Workism - on the myth that your job can be your God
Bab 3: The Love of Labor - on the myth of dream jobs
Bab 4: Lose Yourself - on the myth that your work is your worth
Bab 5: Working Relationship - on the myth that workplace can be family
Bab 6: Off the Clock - on the myth that working more hours always leads to better work
Bab 7: Work Hard, Go Home - on the myth of cushy office perks
Bab 8: The Status Game - on the myth that status equals success
Bab 9: A World with Less Work - on the myth of personal boundaries

Menarik bukan? Selesai baca buku ini rasanya pengen fafifuwasweswos di reply twit hrdbacot wkwk.

Banyak hal baru yang saya tahu dari buku ini, misalnya istilah Integrator dan Segmentor dalam mengkategorikan pekerja. Integrator adalah yang mencampur waktu bekerja dengan kegiatan pribadinya. Pagi buka laptop dulu, lalu ditinggal antar anak sekolah, balik kerja lagi, siangnya benerin kipas angin, sorenya standby sambil nyiramin halaman, malam hari waktu anak istri sudah tidur kalau masih ada kerjaan buka laptop lagi. Sementara segmentor tegas soal batas, bekerja dari jam 9 sampai setenah 6 sore tanpa aktivitas sambilan, tapi di luar itu tidak menyentuh kerjaan lagi. Dua tipe ini perlu cara handling yang berbeda, kamu yang mana?

Banyak insight yang saya dapat dari buku ini yang saya rasa akan berguna dalam pekerjaan saya (atau untuk wawancara kerja berikutnya hehe). Seperti resep kenyamanan dalam bekerja ternyata adalah terlindunginya waktu luang pekerja. Ini bisa diwujudkan dengan andil dari government (regulasi), perusahaan (budaya), dan diri sendiri (keputusan personal). Jika ingin lompat ke pekerjaan baru, ukur apakah waktu luangmu lebih terlindungi atau tidak. Termasuk jika ingin ubah haluan untuk mencoba entrepreneur atau freelancing.

Definitely kandidat buku terbaik tahun ini. Buat yang saat ini sedang lelah lahir batin setiap selesai bekerja, tratapan kalau dengan notif Teams, Slack, atau WA, atau terjebak dalam hustle culture berlebihan cocok untuk baca ini. Buku ini juga meng-acknowledge bahwa lebih cocok untuk dibaca sebagian orang daripada sebagian yang lain. Penulis menjelaskan bahwa latar yang diambil adalah korporat Amerika dengan keyakinan bahwa kondisi yang sama banyak terjadi terutama di kota-kota besar. Jadi untuk budak korporat Jkt, Sby, Smg, Bdg, Jog, dll sih termasuk must read.

Terakhir, buku ini mudah untuk dibaca. Halaman pertama dibuka dengan kisah obrolan nelayan dan businessman yang sudah diceritakan ulang dimana-mana. Baca cerita itu membuat langsung tahu apa sih yang mau disampaikan buku ini, dengan caranya yang ringan.



Thanks,
Chandra