Pabrik Pesawat Terbang



Bisnis layanan penerbangan jadi salah satu sektor yang mendapat pukulan paling keras atas perubahan yang terjadi selama pandemi Covid-19. Jumlah orang yang bepergian lewat udara menurun drastis hingga 70-90%. Pemerintah juga sempat melakukan penghentian operasi penerbangan umum sebelum akhirnya dibuka kembali dengan beberapa syarat.

Efek yang terlihat misalnya Garuda meng-grounded 70% armadanya serta tidak melanjutnya kontrak sebagian pilotnya. Lion Group (Lion, Wings, Batik) yang sempat beroperasi akan menghentikan operasinya kembali mulai 5 Juni hingga waktu yang belum ditentukan.

Efek domino menurunnya okupansi perjalanan udara merembet hingga sektor lainnya seperti layanan bandara, transportasi antar moda, in-flight catering, aircraft maintenance, hingga industri pembuatan pesawat terbang itu sendiri.

Kondisi benar-benar sulit jika perusahaan sekelas Boeing sampai kembang kempis. Boeing berencana mem-PHK hingga 6000 karyawan di minggu-minggu ini. Karena penurunan produksi pula mereka terancam harus mem-PHK 10% karyawannya hingga akhir 2020 atau setara 160.000 orang di seluruh dunia. Sementara itu Airbus membukukan kerugian hingga setengah milyar dollar pada kuartal pertama 2020. Hal ini disebabkan maskapai-maskapai yang mereview dan membatalkan rencana pembelian armada pesawat terbang baru.

Kesulitan bisnis yang dialami maskapai penerbangan di seluruh dunia membuat pembelian armada baru tidak jadi prioritas. Analogi sederhananya pemilik rental mobil akan berpikir berulang kali untuk membeli unit baru dalam kondisi permintaan konsumen yang menurun seperti saat ini.

Diperkirakan butuh waktu 2-3 tahun pasca corona bagi maskapai penerbangan untuk dapat mengembalikan state bisnisnya menjadi seperti tahun 2019. Artinya dalam 2-3 tahun ke depan akan ada adjustment rute dan jadwal yang sebagian besarnya berupa pengurangan karena diperkirakan jumlah pengguna angkutan udara juga berkurang.

Oleh karenanya pengadaan armada baru menjadi tidak terlalu diperlukan. Padahal maskapai-maskapai dengan layanan berjadwal adalah pasar besar bagi pembuat pesawat terbang. Saat ini hingga maskapai besar dan kaya seperti Emirates saja berada dalam posisi yang terancam membatalkan pembelian pesawat dari Boeing dan Airbus.

Pun nanti ketika industri layanan penerbangan sudah pulih, masih butuh waktu bagi industri pembuat pesawat terbang untuk ikut bangkit. Diperkirakan butuh waktu 2-3 tahun juga setelah frekuensi dan okupansi penerbangan normal hingga permintaan pesawat terbang baru kembali ke level membahagiakan.

Artinya pelaku industri pembuatan pesawat terbang harus menunggu hingga 4-6 tahun setelah corona reda hingga bisa kembali ke kondisi seperti tahun 2019. Kita berharap industri ini tetap mampu bertahan karena akan sangat dibutuhkan di masa yang akan datang.

Indonesia sendiri tidak lepas dari tekanan negatif penurunan bisnis akibat pandemi. Indonesia memiliki beberapa proyek pesawat penumpang yang tengah berjalan seperti N219 serta yang masih dalam rencana N245 dan R18. Kita tentu berharap proyek ini tidak berhenti, namun tidak bisa dipungkiri sekarang adalah masa yang sulit bagi para stakeholder yang terlibat dalam pekerjaan besar tersebut.

Terlepas dari pertimbangan politik (jika ada), secara teknis dan bisnis keputusan pemerintah untuk lebih memprioritaskan pengembangan drone/pesawat tanpa awak dibanding pesawat penumpang adalah hal yang masuk akal. 

Pesawat tanpa awak jelas tidak terpengaruh turunnya bisnis layanan perjalanan udara selama pandemi. Selain itu ada atau tidak ada pandemi, pesawat tanpa awak tetap dibutuhkan untuk berbagai keperluan seperti servey perbatasan, mapping, dan monitoring. Modal yang lebih kecil dan regulasi industri yang lebih sederhana juga membuat pengembangan pesawat tanpa awak lebih feasible untuk digenjot saat ini.


Chandra

0 comments :

Post a Comment