Apakah Blog Masih Relevan?


Dua hari yang lalu saya membuat polling ini di instagram. Saya melempar pertanyaan itu setelah browsing sesuatu dan came across blog ini: fitrihasanahamhar.blogspot.com. Yang menarik dari blog tersebut adalah banyaknya link menuju blog lain yang ditampilkan di sana terutama jika dibuka dalam mode tampilan PC. Selain melalui widget yang disematkan, penulisnya juga mempraktekkan konsep followers-following yang membuat blog ini menjadi seperti hub menuju laman-laman lain. Saya punya cukup banyak waktu weekend kemarin jadi sempat untuk berselancar.



Hanya segelintir dari blog-blog yang ada di sana yang pemiliknya saya tahu, misalnya Kurniawan Gunadi, Nurvirta Monarizqa, dan Raditya Dika. Meski begitu, randomly saya coba klik beberapa link yang ada dan menemukan beberapa cerita menarik seperti orang yang tengah studi di Amerika, cerita jalan-jalan di Eropa, cerita soal profesi, perenungan, keluarga, dan lain sebagainya. Sayangnya di antara list itu banyak juga blog yang last updated-nya sudah beberapa tahun yang lalu, tidak ada tulisan baru lagi, atau bahkan link-nya sudah mati.

Saya cukup yakin orang berhenti menulis di blog bukan karena malas (kalau malas mah tidak bikin blog in the first place), melainkan ia tidak lagi melihat blog sebagai media yang relevan untuk berbagi cerita di masa kini. Konten berbasis tulisan (blog, majalah, etc) sudah kalah menarik bagi audience ketika konten video dan vlog bermunculan, apalagi sekarang ketika persaingannya lebih bombastis lagi dengan munculnya platform video berdurasi pendek. Saya membayangkan blog ini seperti pasar yang dulu ramai tapi kini ditinggalkan karena orang berpindah ke tempat yang lebih nyaman dan mewah. Jika pembelinya sudah tidak banyak datang, untuk apa penjualnya bertahan? 

Tapi meski sudah tidak seramai dulu, blog tidak benar-benar mati seperti apa yang terjadi pada MySpace dan Friendster. Banyak informasi di blog yang masih akan direfer oleh search engine, segelintir influencer juga masih membuat konten tulisan di samping konten digital di platform lain. Tapi lebih dari itu adalah masih ada orang-orang yang menjadikan menulis sebagai hobi, tanpa peduli ada yang membacanya atau tidak, serta tanpa motif popularitas dan ekonomi. Sama seperti orang yang enjoy main musik di dalam kamar: dimainkan sendiri, dinikmati sendiri, tanpa perlu ada orang lain yang mendengar.

Makin kesini makin terlihat kesamaan antara menulis dan main musik. Puthut EA bilang ada orang yang belajar menulis karena ingin jadi penulis dan ada yang belajar semata-mata karena ingin bisa menulis. Sama saja dengan musik, tidak semua orang belajar musik untuk jadi musisi, banyak yang untuk mencari kebahagiaan sendiri. Musik dan menulis (serta membaca) adalah skill yang good to have. Orang bisa membunyikan piano dengan memencet tuts-nya, tapi itu belum disebut main musik. Sama halnya orang bisa membaca dan menulis huruf, tapi kemampuan memahami tulisan panjang dan menulis runtut adalah hal yang berbeda.

Hanya 10 orang yang mengisi polling saya di instagram, 8 bilang masih relevan sementara 2 lainnya tidak. Saya dm-an dengan salah satu yang bilang tidak dan maksud dia adalah tidak relevan lagi sebagai media penyampai pesan. Kalau ingin menjangkau audience yang lebih luas butuh media yang lebih menarik dari sekedar tulisan. Itu betul, views pada satu video YouTube atau reels instagram bisa lebih banyak daripada pembaca sebuah blog all time. Saya tidak tahu apakah masih ada konten kreator yang murni berbasis blog/tulisan saja di dunia ini.

Tapi balik lagi tidak semua orang menulis demi populatitas dan follows. Bahkan mungkin sekarang justru banyak yang menulis untuk mengekspresikan dirinya tanpa dibaca banyak orang. Di sisi lain ini malah menjadikan blog walking semakin menarik karena bisa menunjukkan sisi lain orang yang tidak terlihat di media sosial lain. Menemukan blog yang masih diupdate memunculkan sense of community walaupun tidak kenal dan belum pernah ketemu, dan itu menyenangkan.

Satu hal lagi, makin jauhnya blog dari popularitas justru menjadikannya makin eksklusif. Karena bisa jadi yang penting bukan berapa banyak yang membaca, tapi siapa yang membaca. Just my two cents.


Thanks,
Chandra



0 comments :

Post a Comment