Jogja dan UMR-nya



Saya adalah orang yang mengapresiasi proses yang dialami oleh seseorang atau sesuatu daripada kondisi dimana dia memulai dan dimana dia sekarang. Bagi saya seberapa istiqomah seseorang memperbaiki diri lebih penting daripada bagaimana keadaannya sekarang. Saya pernah menulis soal ini di Posisi, Kecepatan, Percepatan

Posisi yang tinggi saat ini tidak berarti banyak kalau setiap hari trennya terus menurun. Sebaliknya orang yang awalnya diremehkan kalau dalam setiap waktunya selalu introspeksi diri dan melakukan perbaikan lambat laun (bahkan ada yang dengan cepat) akan naik. Itu yang membuat roda kehidupan terus berputar.

Bukan hanya dalam menilai seseorang. Pendekatan yang sama juga saya gunakan dalam melihat benda-benda mati, bahkan non-fisik. Salah satunya UMR Jogja yang selama ini dikeluhkan angkanya terlalu kecil
Jogja itu terbuat dari UMR terendah, kesenjangan ekonomi terparah (indeks gini tertinggi), tapi pembangunan manusia tertinggi (IPM tertinggi) dan paling bahagia (indeks kebahagiaan tertinggi di jawa). Jadi, cari materi yang gak gampang di Jogja. Carilah sehat, cerdas dan bahagia - @iqbal_kautsar 
Jogja adalah daerah istimewa dengan sejarah yang panjang. Jogja adalah kota yang besar sejak ratusan tahun yang lalu bahkan pernah menjadi ibukota sementara. Semua cerita-cerita manis masa kerajaan Mataram hingga penjajahan tentulah menunjukkan Jogja adalah kota yang maju sejak dulu. Foto-foto lama membuktikan bahwa infrastruktur kota ini modern pada masanya dengan jalan yang lebar dan bagunan-bangunan kokoh.

Jogja, atau DIY pada umumnya adalah daerah yang dihormati karena sejarah dan tradisinya. Sampai saat ini dalam benak saya Jogja sejajar dengan kota-kota besar macam Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang dan lain sebagainya. Sayangnya tidak begitu, setidaknya dari sisi ekonomi.

Budaya merasa cukup dan tidak banyak menuntut adalah salah satu yang lekat dengan masyarakat Jogja. Tapi seiring berjalannya waktu, ketika arus informasi kian tak terkendali, sebagian masyarakat Jogja tidak lagi menganggap itu cara hidup yang rasional.

Ekonomi cakupannya luas, saya ingin mempersempitnya menjadi kesejahteraan. Walaupun rejeki bukan hanya uang, tapi kalau mau mengukur kesejahteraan suatu wilayah salah satu parameternya adalah UMR daerah tersebut. Sebab, UMR ini diturunkan dari perhitungan Kebutuhkan Hidup Layak (KHL).

Biaya hidup di Jogja murah. Budaya gotong royong dan kerukunan antar warganya juga membantu menekan biaya hidup di atas kertas. Penghasilan 1,8 juta perbulan cukup untuk hidup layak di Jogja, tapi apa cukup untuk hidup nyaman dan aman? Untuk makan sehari-hari cukup, tapi bagaimana kalau pekerja dengan upah sekian ingin memiliki hunian?

Apakah angka 1,8 juta perbulan kecil? Iya. Mari jangan bicara dulu soal Surabaya dan Bandung, UMR Kota Yogyakarta (Rp1.846.000) yang tertinggi di Provinsi DIY bahkan lebih kecil daripada Banyuwangi (Rp2.132.779), serta jauh lebih kecil dari Kota Malang (Rp2.668.420), Denpasar (Rp2.553.000), dan Kota Semarang (Rp2.498.587), serta tidak sampai setengahnya Sidoarjo (Rp3.864.696). See?

Apakah sekarang Jogja sudah beda level dengan kota itu? Sekarang Jogja satu level dengan Kabupaten Garut, Majalengka, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lumajang, dll kalau dilihat dari segi UMR yang di angka 1,8 juta-an.

Lupakan daerah-daerah middle class macam Cirebon, Kediri, Lombok, Bengkulu, dll karena mereka lebih tinggi dari Jogja. Fakta lain, UMK terendah di Jawa Timur adalah Ngawi (Rp1.763.267) masih lebih tinggi dari Kabupaten Sleman (tertinggi kedua di DIY setelah Kota Yogyakarta).

Mengenai angka-angka itu silakan dicari lebih jauh datanya banyak tersebar di internet. Saya coba bergerak sedikit lebih jauh dengan berbekal pertanyaan: angkanya memang kecil, lalu bagaimana dengan perubahannya dari tahun ke tahun?

Saya coba kumpulkan data UMR beberapa daerah tahun 2009 dan 2019. Namun untuk kota dan kabupaten di DIY saya hanya menemukan data dari tahun 2014.

Dari data yang berhasil saya dapatkan, angkanya saya tabulasikan dalam tabel berikut:


Dari tabel tersebut bisa dilihat bahwa selain nilai UMR yang rendah, pertumbuhan UMR di D.I.Yogyakarta juga alon-alon waton kelakon. Untuk Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Bantul saya melakukan ekstrapolasi linear sehingga angka persentase kenaikan di situ sudah dinormalisasi sesuai data yang lain yaitu kenaikan selama sepuluh tahun terakhir. Sementara untuk Provinsi DIY secara keseluruhan data tahun 2009 tersedia sehingga tidak perlu dilakukan ekstrapolasi serupa.

Hasilnya, dapat dilihat bahwa UMR DIY hanya naik 124% selama 10 tahun terakhir. Bahkan Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul memiliki angka pertumbuhan yang lebih kecil. Peningkatan ini hanya sekitar setengah pertumbuhan UMR di kawasan Jabodetabek, Bandung, dan Semarang. Kota-kota besar di Jawa Timur bahkan tumbuh hingga 300% lebih.

Kita perlu berdiskusi tentang penyebab rendahnya rate kenaikan UMR di DIY dibandingkan daerah lain di Indonesia. Dalam pikiran saya, kondisi ini disebabkan oleh faktor dari dalam yaitu masyarakat DIY sendiri. Sebagai wilayah dengan sejarah yang panjang dan budaya yang melekat, warga DIY tampaknya mengambil posisi konservatif dalam menghadapi perkembangan jaman.

Nilai-nilai seperti sopan santun, gotong royong, dan lain sebagainya diturunkan dari generasi ke generasi dan membuat nilai ini terjaga sampai saat ini. Kerukunan dan kepedulian antar warga membuat cost hidup di Jogja menjadi jauh lebih murah daripada daerah-daerah lain.

Pada level pengambil kebijakan, dengan masih kuatnya supremasi Kraton, ditambah gerakan para SJW (social justice warrios) membuat Jogja tidak begitu friendly bagi pemodal besar yang ingin menanamkan investasi di daerah ini dalam bentuk usaha atau infrastruktur masif. Pada satu sisi ini menjadi penyebab tertinggalnya Jogja dibanding kota-kota macam Bandung, Semarang, dan Surabaya dalam hal pembangunan. Namun di sisi lain warga lokal Jogja tidak merasa perbandingan itu penting, yang penting mereka dapat hidup nyaman dan stabil di kota tercintanya.

Adanya Sultan Ground (SG)  yang tersebar di seluruh penjuru DIY membuat hampir tidak mungkin di DIY akan berdiri kota mandiri raksasa seperti BSD atau Kota Baru Parahyangan. Dalam pembangunan infrastruktur jalan tol juga Sultan tidak ingin tol dibangun di permukaan tanah tetapi harus elevated walaupun biayanya jauh lebih mahal. Hal ini membuat infrastruktur Jogja tidak semaju kota-kota besar lainnya di Indonesia.

DIY kurang menggiurkan bagi investor karena aksesnya yang terisolasi dari kota besar lain dan tidak memiliki infrastruktur penunjang produksi skala besar. DIY tidak (atau belum) terhubung jaringan tol, tidak punya pelabuhan untuk pengiriman logistik, dan operasi bandara baru belum maksimal. Akibatnya tidak banyak modal (uang) masuk ke Jogja. Hidup masyarakat Jogja adem ayem, namun kalau dihitung dengan uang kurang menggiurkan.

Tapi kebahagiaan tidak semata-mata uang. Kedamaian dan kemudahan hidup di Jogja adalah sesuatu yang menggoda bagi orang yang ingin tinggal di sana. Banyak pertimbangan orang ingin bekerja dimana dan tidak semuanya bisa kita pahami. Pertimbangan dekat dengan keluarga adalah sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan angka.

Jogja dikenal sebagai kota pelajar dengan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang namanya harum hingga tingkat nasional. Jogja juga kota yang mampu mempertahankan budayanya ditengah gempuran modernisasi. Tinggal di Jogja sama sekali bukan pilihan yang buruk.

Kita sebagai generasi milenial punya pertimbangan yang lebih besar dalam memilih dimana kita akan tinggal. Marilah kita bertanya dimana kita akan lebih bermanfaat, lalu tujulah tempat itu.
Khairunnas anfa'uhum linnas
Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi manusia lainnya. Jika memang kita akan lebih berguna di ibukota, pergilah walaupun orang bilang ibukota kejam. Jika memang mampu mengembangkan daerah-daerah terdepan, berangkatlah, rangkul masyarakat di sana dan tingkatkan taraf hidupnya. Jika memang lebih baik di Jogja, pergilah dan rasakan kenyamanan hatinya.






1 comment :