Kepo


Sekarang kata kepo sudah masuk ke KBBI loh. Menurut KBBI kepo artinya rasa ingin tahu yang berlebihan tentang kepentingan atau urusan orang lain. Ada beberapa dalil, tapi yang paling kuat mengatakan kepo awalnya adalah singkatan dari Knowing Every Particular Object.

Hampir setiap kata punya nuansa, termasuk kepo. Sayangnya, konotasi yang disematkan padanya cenderung negatif. Seolah orang yang kepo selalu telah melanggar hak privasi orang lain. Padahal belum tentu, bisa jadi kitanya sendiri yang menaruh informasi itu untuk publik. Orang yang kepo hanya butuh sedikit usaha untuk tahu tentang kita, dengan scroling media sosial misalnya.

Saya akui saya juga orang yang sering kepo. Bukan karena ingin tahu privasi orang lain, tapi saya merasa ada beberapa keuntungan ketika kita tahu banyak tentang orang. Bukankah badan intelejen dibentuk dan dibayar untuk itu?

Dengan tahu apa yang seseorang suka atau benci misalnya, kita bisa membuatnya lebih positif hanya dengan mengajaknya berbicara tentang yang disukainya dan menghindari menyebut hal yang membuatnya tersinggung. Bayangkan bencana yang ditimbulkan dari pertanyaan sederhana "Bapak apa kabar?" kepada orang yang ternyata yatim.

Selanjutnya, dengan tahu seseorang itu berasal dari mana atau pernah sekolah dimana kita bisa memperbanyak bahan obrolan yang berbobot. Apalagi jika kita dan lawan bicara memiliki kesamaan dalam hal alumni sekolah atau kuliah di kampus yang sama, obrolan sederhana bisa jadi ajang nostalgia.

Sisi positif lain dari kepo adalah jika kita baru akan pertama kali ketemu dengan seseorang, kita bisa cek dulu wajah dan penampilannya seperti apa jadi mudah untuk mengidentifikasi. Operasi intelejen yang ini gampang dilakukan di jaman media sosial seperti sekarang.

Masih ada beberapa sisi positif dari kepo, tapi tiga alasan di atas adalah yang paling signifikan. Dengan melakukan itu, saya jamin kita akan lebih mudah masuk ke lingkungan baru atau mengenal orang baru. Apalagi untuk orang introvert macam saya.

First impression means more sekarang ini. Beberapa menit awal berkenalan atau bertemu kita sudah bisa menilai apakah orang/grup ini asik atau tidak, nyambung atau tidak, jodoh atau tidak, eh. Dengan kepo lebih dulu, kita bisa punya kendali lebih terhadap first impression diri kita di mata dia/mereka.

Jangan sampai kita salah ngomong hal-hal yang membuat mereka ilfeel. Mending kalau itu sekedar orang yang ketemu satu dua kali saja, tapi kalau itu klien bernilai ratusan juta gimana?

Agar tidak menimbulkan masalah tentu kepo harus dikasih batasan. Janganlah kita sampai ingin tahu segala urusan dan kepentingan orang. Kita cukup mengeksplor informasi-informasi yang sifatnya publik dan yang paling mudah adalah dengan memanfaatkan media sosial.

Kalau kita memang benar-benar ingin tahu tentang orang, kita bisa cek medsos orang tersebut mulai dari facebook, twitter, instagram, askfm, blog, linkedin, youtube, dan lain sebagainya. Memang tidak semua orang punya akun disana, tapi kita berharap saja bisa menemukan namanya di kolom pencarian.

Instagram memberi tahu kita tentang aktivitasnya sekarang, siapa teman-temannya, dan dimana dia beraktivitas. Facebook lebih ke melihat sejarah orang tersebut, dimana dia pernah bersekolah, siapa mutual friend kita, bahkan kita bisa lihat foto-foto masa lalunya kalau belum dihapus.

Twitter dan blog berguna untuk tahu seperti apa personal orang tersebut karena dua sosmed ini berbasis tulisan dan kata-kata. Di twitter lihat apa yang dia tweet, retweet, dan terutama like. Blog memberi informasi lebih dalam tentang orang tersebut karena lebih personal dan biasanya banyak curhatan

LinkedIn jika dikelola tentu menjadi sumber informasi komplit tentang karier profesionalnya, sangat sesuai untuk kepo urusan bisnis dan pekerjaan. Di youtube kita bisa cari akunnya, lihat liked video jika dipublish, dan terutama lihat video apa yang pernah diupload. Generasi milenial ini sering upload video untuk kepentingan lomba atau seleksi, sumber bagus untuk kita tahu lebih banyak tentang orang itu.

Sosial media lain punya metode kepo dan jenis informasi yang beragam sesuai dengan karakter sosmed masing-masing. Jangan lupakan juga cara paling mudah untuk kepo yaitu dengan search namanya di pencarian google, kalau banyak sepak terjangnya pasti keluar beritanya.

Selain kepo orang yang bersangkutan, kita juga bisa memanfaatkan sosial media milik teman atau keluarganya, ini juga bisa memberikan informasi lebih dalam jika dibutuhkan. Tentu seberapa dalam kita mencari tahu tergantung seberapa besar keperluan kita untuk tahu. Tetap jaga kesopanan, hanya lihat informasi yang memang dia ijinkan untuk diakses oleh publik.

Disini kita juga harus ingat bahwa kita juga bisa menjadi obyek kepo. Jika kita tidak ingin banyak diketahui orang lain pastikan kita membedakan mana informasi untuk publik dan mana yang untuk lingkaran dekat saja. Jika merasa terganggu dengan orang yang tahu banyak tentang kita jangan langsung menyalahkan dia kepo, cek juga apakah kita dengan mudahnya memberikan data.

Kita juga harus waspada di media sosial, jangan asal posting nomor hp pribadi atau orang lain tanpa ijin, jangan dengan mudah memberitahukan nama orang tua, kakak, adik, atau saudara lainnya, dan jangan melakukan diskusi sensitif atau rahasia di timeline media sosial.

Kepo dengan penuh tanggung jawab dan sopan santun ya!


Belajar dari Statistik Bola Part 1

Ada sebuah metode analisis teknis sepakbola yang sekarang sedang naik daun. Metode ini dapat digunakan untuk memprediksi tim mana yang akan memenangkan pertandingan, bahkan kompetisi. Metode ini pula yang saat ini banyak digunakan sebagai rujukan tim-tim bola Eropa untuk memilih pemain yang akan dibeli pada bursa transfer.

Expected Goal (xG) dan Expected Point (xP) menjadi dua variabel yang banyak dibicarakan saat ini karena dipercaya sebagai besaran yang sederhana namun akurat untuk menggambarkan permainan sebuah tim di lapangan sepakbola. Menang dan kalah dapat dilihat dari skor yang terpampang pada peluit akhir pertandingan. Namun, xG dapat menjelaskan kenapa satu tim layak kalah dan yang lainnya menang. Begitu pula xP untuk skala kompetisi.



Begini penjelasan singkat tentang xG

Seiring berkembangnya industri sepakbola, ada beberapa pihak/situs yang mengumpulkan data tembakan (shot data) dari berbagai liga sepakbola profesional selama sekian tahun hingga terkumpul setidaknya puluhan ribu tembakan. Tembakan di sini diartikan tendangan berupa attemps untuk mencetak goal ya, kalau cuma operan tidak dihitung.

Selanjutnya, unsur yang paling dilihat dari data tersebut adalah dari mana tembakan dilakukan dinyatakan dengan jarak dari gawang dan sudutnya. Sebagai contoh perhatikan ilustrasi berikut:


Angka-angka tersebut punya arti berapa persen tendangan (dan sundulan) yang dilakukan di area tersebut yang berhasil menjadi goal. Semakin dekat dengan gawang dan semakin lurus sudutnya tentu semakin besar kemunginannya menjadi goal. Pada dasarnya xG menggambarkan kualitas peluang.

xG biasanya dinyatakan dalam desimal, bukan persen, seperti:

37% menjadi 0.37
8% menjadi 0.08
dst

Angka xG kemudian dijumlahkan dalam satu pertandingan bahkan dalam satu musim kompetisi untuk melihat seberapa bagus performa tim tersebut. xG diyakini lebih representatif daripada jumlah goal yang dicetak tim itu sendiri karena xG mengeliminasi faktor keberuntungan.


Selanjutnya, tentang xP alias expected points

Dua tim yang bertanding di lapangan bola pasti memiliki xG yang dihitung berdasarkan peluang yang mereka dapatkan di pertandingan itu. Expected points dihitung berdasarkan selisih xG yang dimiliki kedua tim, dengan ketentuan berikut:


Ilustrasinya, misal Persib Bandung lawan PSS Sleman setelah dihitung xG-nya Persib 2,1 vs 1,4 PSS. Maka selisih xG Persib unggul 0,7 atas PSS, sehingga xP untuk Persib adalah 2 (baris ketiga) dan untuk PSS 0,5 (baris 6). Catatan: yang xG kalah nilainya jadi negatif, kasus PSS ini jadi -0,7.

Nilai xP yang diperoleh masing-masing tim dalam suatu kompetisi dijumlahkan sepanjang musim sehingga bisa dibuat klasemen berdasarkan xG dan xP. Tentu penilaian ini lebih rumit daripada skoring yang biasanya dipakai dimana tim yang menang dapat 3 poin, imbang 1, dan kalah 0. 

Ini adalah contoh klasemen liga Inggris yang dinyatakan dengan metode konvensioal sekaligus xP-xG: https://understat.com/league/EPL

Lalu apa keutamaan dari statistik xG dan xP ini? Jawabannya adalah prediksi

Telah terbukti dalam beberapa tahun terakhir bahwa perolehan xG dan xP mencerminkan performa tim tersebut pada musim berikutnya jika tidak melakukan perubahan pada masa istirahat kompetisi: membeli pemain, ganti pelatih, dll.

Jika melihat tabel untuk liga Inggris tersebut, jika tidak ada perubahan besar maka Manchester City dan Liverpool tetap akan menjadi unggulan dimana City tetap akan menjadi juara. Liverpool perlu merekrut penyerang baru yang cukup berkualitas untuk meningkatkan xG sehingga bisa mengimbangi City.

Konsekuensinya, xG dan xP juga menjadi pertimbangan ketika sebuah tim akan merekrut pemain. Jangan sampai membayar mahal untuk pemain gagal, contohnya Higuain ke Chelsea.


Chelsea melakukan kesalahan dengan membeli pemain yang xG-nya terus menurun, yang mana artinya pemain yang bersangkutan semakin tidak mampu mendapatkan peluang. Hasilnya xG Chelsea bahkan berada di bawah Arsenal dan MU.

Kemampuan xG dan xP untuk memprediksi masa depan sebuah tim semakin diakui. Lebih dari itu, di luar sepakbola pun konsep serupa dapat digunakan. Kita bisa memprediksi masa depan sebuah perusahaan, organisasi, universitas, sekolah, bahkan keluarga dan individu dengan melihat secara mendalam entitas yang bersangkutan.

Jika melihat keluarga misalnya, kita bisa mengobservasi bagaimana hubungan orang tua dan anak di keluarga tersebut, bagaimana bahasa yang digunakan, bagaimana cara keluarga itu menyelesaikan konflik, bagaimana hubungannya dengan tetangga, apakah keluarga menjunjung tinggi pendidikan, dan lain sebagainya.

Jika kita menemukan bahwa aspek-aspek itu bernilai baik, dapat diduga keluarga itu kondisi hidupnya akan membaik regardless bagaimana kondisinya saat ini. Sebaliknya, keluarga yang tampak stabil bisa lengser sedikit demi sedikit jika kebaikan-kebaikan tadi tidak dipelihara.

Kita sering bilang bahwa roda kehidupan berputar, yang di atas akan ada saatnya berada di bawah, dan sebaliknya. Kita sering kaget kok bisa berubah begitu cepat. Padahal jika kita mau melihat lebih dalam memang individu/keluarga/lembaga itu kehilangan pegangan sejak waktu-waktu sebelumnya.

Pada bagian ini saya banyak menjelaskan dari sisi sepakbolanya, nanti pada bagian berikutnya saya ingin lebih berkontemplasi tentang bagaimana kita bisa melihat masa depan dengan cara ini dalam dunia yang lebih luas dari lapangan sepak bola.

Review Film Single 2

Raditya Dika bilang film Single 2 ini adalah film terakhirnya yang mengangkat tema Jomblo, mengingat sekarang dia sudah menikah dan punya anak. Film ini sekaligus kelanjutan dari sekuel pertamanya yang rilis akhir 2015 lalu.

Beberapa pemerannya masih sama kecuali dua kawan Ebi yang dulu di Single 1 namanya Wawan (Pandji) dan Victor (Babe Cabita) digantikan oleh Johan (Yoga Arizona) dan Nardi (Ridwan Remin). Sayangnya dua orang ini seolah tiba-tiba muncul seperti meminta penonton untuk memaklumi, "FYI, ini temen Ebi, dia butuh temen biar ceritanya bisa dikembangin, terima aja ya".

Tik-tok antara Johan dan Nardi juga belum se-klop Wawan-Victor. Sebagian jokes-nya gagal membuat penghuni bioskop ketawa. Untuk Arya yang menggantikan Joe (Chandra Liow) okelah nggak jatuh. Menggunakan template penokohan yang sama dengan Single 1 sah-sah aja asal pemainnya bisa masuk ke template itu, dan sepertinya ini jadi dosa terbesar Single 2.

Hal yang saya kurang suka lainnya adalah lambatnya pace pada sejam pertama film. Rasanya ini film lama banget mau mengenalkan tokoh baru dan merecall background cerita Single 1, dan masih kurang kena juga. Lepas itu keadaan membaik karena sebenarnya plot yang dibangun Radit bagus terutama kesuksesannya memanfaatkan premis ibunya Angel yang pikun. Ceritanya bagus, tapi humornya kurang lucu.

Sebagai film komedi, kalau jokesnya nggak pecah jadi terasa nanggung banget. Apalagi ketika kursi bioskop terisi penuh tapi cuma satu dua orang yang ketawa, krik-kriknya berasa. Film ini juga menyajikan beberapa adegan french kiss yang membuatnya jadi kurang friendly untuk anak-anak. Dua hal ini sampai membuat saya gak enak sama orang yang saya ajak nonton, berasa salah milih film.

Netizen twitter membandingkan film Single 2 dan Target, film Radit lainnya. Sayangnya perbandingan ini bukan ke arah yang positif, melainkan mana yang lebih jelek dari dua film ini, sadis emang warganet. Saya curiga kesibukan Radit sebagai standup comedian dan youtuber membuatnya nggak punya cukup waktu untuk membuat karya yang baik dalam bentuk film. Bisa dimaklumi sih.

Kesimpulannya, master cerita film ini bagus, dengan plot twist yang lumayan berkualitas. Sayang jokes-nya tidak selucu yang saya bayangkan membuat saya jadi beberapa kali tengok jam, masih berapa menit lagi ini. Ada beberapa alasan yang membuat kamu sebaiknya nonton Single 2:

1. Kamu fans berat Raditya Dika dan gak mau ketinggalan satupun karyanya.
2. Mau nonton Ghost Writer tapi kamu alergi hantu, walaupun udah dikemas dalam bentuk film lucu.
3. Kamu udah nonton film lebaran lainnya.

Tetap, ini sebuah karya yang patut dihargai. Apalagi posternya, bagus, jadi ingin makan mie!




Skor dari saya yang awam ini: 6/10


Do I Look So Strange?

Beberapa waktu lalu ada yang viral di twitter yaitu soal keluhan para wanita tentang sebegitu tak acuhnya para pria pada penampilan, terutama sepatu. Ketika wanita menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih OOTD, pria memakai sepatu yang itu itu aja untuk berbagai acara.

Nampaknya niatan pria untuk hidup simple dianggap sebagai ketidakniatan dalam berpakaian. Saya jadi tergelitik dan nggak tahan untuk tidak berkomentar. Seperti biasa saya coba tanggapi dengan jenaka tapi malah dianggap serius dan agak di-salty-in.



Yawislah gapapa namanya netizen. Karena malas adu tanggapan di twitter, saya ingin ajak mereka-mereka naik mesin waktu untuk kembali ke masa kecil saya.

Saya besar di keluarga yang biasa-biasa saja. Sejak saya kecil sampai SMP, sepatu bukanlah barang yang menyediakan pilihan. Saya hanya punya dua pasang sepatu, satu sepatu bola, satu sepatu sekolah. Sepatu sekolah merknya Ardiles atau Bata, dan warnanya selalu hitam all black. Harus hitam karena aturan di sekolah saya dulu begitu.

Saat itu tidak terpikir di benak saya bahwa sepatu itu terikat dengan fungsi. Bagi saya satu sepatu untuk banyak acara. Andaikan sepatu bola nggak harus dilengkapi pul, mungkin saya main bola dengan sepatu sekolah itu juga.

Saya baru beli sepatu lagi jika sepatu yang lama sudah rusak. Jadi hampir tidak ada masa dimana saya punya lebih dari satu pasang sepatu sekolah. Tapi saya sudah harus bersyukur, ada teman yang terpaksa masih memakai sepatu bolongnya karena belum mampu beli yang baru. Jadi posisi saya di pertengahan lah.

Btw entah kaki saya tajam atau memang kualitas sepatu merk itu tadi agak kurang, sepatu yang saya pakai nggak pernah bertahan lebih dari setahun, Sebagian besar malah rusak dalam satu semester. Tapi alhamdulillah prinsip orang tua saya kalau untuk sekolah jangan kurang-kurang.

Masuk SMA, pertama kalinya saya punya sepatu yang agak mewah merk Reebok, dikasih sama om. Warna hitam juga tapi ada silver-silvernya dikit. Walaupun agak naik kelas, sikap saya terhadap sepatu nggak berubah. Satu sepatu itu yang saya pakai untuk sekolah, jalan-jalan, sepedaan, bahkan kondangan. Tapi nggak pernah saya pakai kotor-kotoran, Sebuah Reebok adalah barang mewah waktu itu.

Sikap bahwa belum beli sepatu baru kalau yang lama belum rusak juga berlaku, Tapi karena ini lebih mahal ternyata kualitasnya lebih bagus dan lebih awet. Harga yang lebih mahal itu jadi reasonable. Berikut-berikutnya kalau beli sepatu saya milih yang bakoh sekalian kaya ini.

Alhamdulillah semakin kesini saya bisa memiliki beberapa pasang sepatu sekaligus. Tapi ini mungkin tetap tidak akan memuaskan @hitmansystem yang bilang pria harus punya minimal 3 sepatu:

1. Dress shoe buat acara formal
2. Sneaker buat acara non-formal atau casual
3. Training/running shoe buat olahraga




Saya baru punya dress shoe sehari sebelum sidang sarjana. Sepatu itu cuma saya pakai 2 kali: pas sidang itu dan pas wisuda. Hampir-hampir saya lupa naruh sepatu itu dimana.

Sneaker saya nggak punya. Sebagai gantinya saya beli selop Skecher yang saya pakai untuk ngampus, ke mall, nonton film, makan, dan lain sebagainya. All terrain banget. Kalau pergi-pergi yang melibatkan banyak jalan kaki saya pakai sepatu running.

Sepatu olahraga ini yang lebih baik, saya punya beberapa dari berbagai merk: sepatu running, sepatu futsal, sepatu badminton, sama ada sepatu bola tapi sudah rusak. @hitmansystem tau nggak sih kalau beda olahraga beda sepatunya.

Selera saya aneh? mungkin. Tapi dengan latar belakang saya seperti itu tadi saya punya threshold sendiri dalam menentukan acara apa pakai sepatu apa. Pasti beda dengan anak ibukota yang sejak kecilnya sudah dikenalkan dengan berbagai macam sepatu untuk acara-acara tertentu.

Tapi saya juga tidak benar-benar menutup mata untuk fashion. Sejak kecil saya diajarkan untuk bisa menempatkan diri dan menghormati orang lain. Kalau saya punya kesempatan ketemu presiden atau menteri pasti saya akan pakai sepatu resmi. Tapi saya pernah presentasi di depan wakil rektor ITB dan cuma pakai sepatu lari.

Saya nggak berniat menihilkan standar well-groom yang ada di masyarakat. Tapi saya tetap memperhatikan fungsi dan rasionalitas dalam memilih alas kaki. Doakan saya dapat istri yang mengerti fashion sehingga bisa mem-permak saya agar lebih trendy wkwkw


Here I Am


"Iya Pak sekarang banyak waktu luang ini saya, kalau ada kerjaan boleh lah saya diajak"
"Wess tenang, akeh kerjaan, tak bagi"

Itu adalah kutipan percakapan saya dengan mantan dosen pembimbing semasa kuliah. Percakapan itu terjadi awal November kemarin dan saya kutip apa adanya. Memang dosen saya ini sering bicara dalam bahasa daerah di kampus sekalipun kalau lawan bicaranya orang Jawa.

Jadi sejak awal oktober saya sudah tidak bekerja di perusahaan yang lama. Bukan karena saya nggak betah lalu resign, tapi perusahaan ini terkena masalah yang membuatnya terpaksa merumahkan seluruh karyawannya. Agak pahit memang awalnya. Sama-sama pengangguran, tapi kalau sudah pernah bekerja sebelumnya ternyata lebih berat daripada kalau baru lulus kuliah.

Pertengahan Oktober saya masih mempunyai sebuah agenda penting sehingga waktu dan pikiran pasca keluar dari pekerjaan saya arahkan kesana. Namun lepas itu saya jadi merasa kaku, waktu luang jadi terasa melimpah. Maklumlah, berubah dari bekerja setiap hari jadi tidak ada aktivitas sama sekali. Sebelum keadaan memburuk sampai merasa diri ini tidak berguna, saya tahu kemana harus menuju : FTMD.

Alhamdulillah tidak sulit untuk kembali dan 'bekerja' di FTMD. Walaupun dulu selepas lulus saya langsung ngilang karena harus bekerja di perusahaan, mereka ternyata dengan senang hati menerima saya bergabung kembali. Bergabung dalam apa ? dalam tim penelitian yang sebenarnya tidak resmi tapi karena banyaknya proyek yang dikerjakan di sini jadi tenaga dosen saja tidaklah cukup, butuh lebih banyak personel.

Hanya dengan menjelaskan bahwa sekarang saya sudah tidak bekerja, available di Bandung, dan bisa ke kampus setiap hari saya langsung diberi pekerjaan. Pertama-tama baru satu proyek, tapi sekarang setelah 1,5 bulan kembali ke FTMD alhamdulillah saya ditugaskan dalam 3 proyek sekaligus, Skala proyek ini tidak kalah besarnya dengan proyek-proyek yang saya kerjakan di perusahaan dulu.

Saya bersyukur sekali atas kepercayaan yang diberikan oleh dosen-dosen dan senior. Saya jadi merasa seperti pemain bola yang ditransfer dari satu klub ke klub lain, lalu di klub barunya langsung menjadi pemain utama tanpa harus mulai dari bangku cadangan. ahaha

Itu bukan karena saya hebat, tapi karena kebutuhan personel memang mendesak. Sebelumnya beberapa proyek sampai didelegasikan ke mahasiswa tingkat 3. Jadi ketika saya menyatakan ingin bergabung langsung terbuka pintu lebar-lebar. Kedekatan saya dengan dosen saat kuliah dulu juga sangat membantu, koneksi memang penting.

Pekerjaan saya sekarang tidak jauh berbeda dengan ketika di perusahaan kemarin. Setelah saya pikir-pikir FTMD itu sendiri sudah seperti sebuah perusahaan -- disamping tugasnya sebagai institusi pendidikan. Jika kemarin saya mengerjakan proyek dari Pusdikkav TNI AD dan Sesko AU, proyek yang sekarang saya ikuti di FTMD adalah dari BIN dan PTDI.

Namun hal yang saya rasa berbeda. Bekerja dengan orang-orang di FTMD bukan hanya soal gaji, tapi lebih dari itu ada unsur trust disana, kebanggaan, apresiasi, dan...rekomendasi.

Hampir semua dosen dan asisten yang ada di FTMD adalah alumni sini juga. Ada rasa kekeluargaan karena dulu sejak mahasiswa sudah satu himpunan. Rasanya sudah bukan atasan dan bawahan, tapi hanya beda angkatan, kakak tingkat. Ini hal yang benar-benar membuat saya nyaman di lingkungan ini. Sulit dijelaskan betapa cairnya interaksi antara (mantan) mahasiswa dan dosen.

Intinya saya kagum.

Ada lagi contoh. ITB punya agenda tahunan berupa lari maraton, ITB Ultra Marathon Jakarta-Bandung, 170 km, hmm..

Kalau kuat boleh dilaju sendiri 170 km, setengah juga boleh, dibagi empat orang boleh, boleh membuat tim maksimal 16 orang. Dua tahun penyelenggaraan ITB Ultra Marathon ITB selalu mengirimkan tim, bahkan tahun ini 2 tim, relay 16 orang dan relay 8 orang.



Nama timnya Dosen Lari FTMD 2018, anggotanya dosen dan asdos. Tertua Prof Ichsan angkatan 77, termuda seangkatan sama saya 2013. Sudah nggak ada perbedaan antara pejabat rektorat, kaprodi, kepala lab, dosen galak, sampai anak yang baru lulus, laki-laki dan perempuan, semua tergabung dalam satu tim, berlari masing-masing 10 dan 20 km, dengan seragam yang sama.

Mungkin teman-teman yang membaca biasa saja, tapi saya yang mengenal beliau-beliau merinding. Pertama perlu diingat bahwa medan yang dilalui adalah jalan raya Jakarta-Bandung (bukan tol), non-stop relay artinya ada yg kebagian lari tengah malam, lalu sebagiannya udah sepuh. Kalau bukan karena latihan serius dan solidaritas lalu apa lagi?

Saya berdiri agak lama di lobby FTMD memandangi foto-foto ketika beliau-beliau berlari dan melakukan relay di titik-titik cekpoin. Kalau ada kesempatan di tahun-tahun mendatang saya ingin ikut :)

Alhamdulillah


Salam,
Chandra

Pameran Buku Paling Dahsyat


Saya tipe orang yang lumayan suka baca buku tapi malas datang ke pameran buku. Kalau mau cari buku ya ke toko buku aja nggak usah nunggu pameran, begitu pikir saya. Tapi Big Bad Wolf beda, ini bukan sekedar pameran buku tapi bisa jadi tujuan jalan-jalan.

Kabar gembira buat para pemburu buku, tahun ini BBW nggak cuma hadir di Jakarta dan Surabaya seperti tahun-tahun sebelumnya tapi ada juga di Bandung, Jogja, Balikpapan, Makassar, dan Medan. Nggak cuma di Jawa bro sis. Tapi Jakarta tetap jadi yang pertama dan mungkin yang terbesar, karena saya ragu ada gedung sebesar ICE di kota lain.

Ya, BBW Jakarta sebenarnya nggak benar-benar di Jakarta tapi di BSD Tangerang, tepatnya di Indonesia Convention Exhibition (ICE). Tempat yang paling cocok untuk pameran-pameran akbar. Auditoriumnya gede banget, di dalam kawasan elit, dekat dengan Jakarta, akses gampang. Perfect!

Saya datang ke BBW hari ke-3 pameran, tanggal 3 Maret hari Minggu. Agak salah datang hari libur karena ramenya luar biasa. Jauh lebih nyaman seperti yang saya lakukan 2 tahun lalu, BBW Jakarta 2016, yang mana waktu itu saya datang weekday dari jam 00.00 tengah malam sampai subuh. Merdeka leluasa banget milih buku, aisle-nya lengang, bisa sambil baca-baca dikit. Oh ya, pameran buka 24 jam ya.

Kalau kepepet harus datang hari sabtu/minggu/tanggal merah coba pahami psikologi masyarakat. Pengunjung yang memboyong keluarganya kemungkinan datang siang hari dan pulang sorenya. Apalagi kalau ada anak-anak. Terbukti sekitar jam 5-7 malam antrian kasir luar biasa bejubel. Antrian mengular kalau dihitung mungkin sampai 250 meter ke belakang wkwkwk. Saking panjangnya sampai ada petugas bawa tanda “Antrian mulai di sini”.



Saya kemarin datang jam 4 sore, awalnya ingin keluar sekitar jam 7 malam tapi melihat antrian sebegitu rupa jadi nggak minat, mending lanjut belanja. Akhirnya saya keluar jam 9, saat antrian keluarga sudah hampir habis dan pemburu malam belum pada datang. Sarana penunjang kehidupan lengkap kok di dalam, termasuk foodcourt.

Ada banyak cara menuju lokasi BBW Jakarta. Kalau Anda dari luar kota datanglah ke Jakarta atau Tangerang via moda transportasi yang ada. Kalau sudah di Jakarta bisa memanfaatkan taksi online atau konvensional dari manapun Anda berada. Tapi kalau mau lebih hemat disarankan mendekat dulu ke kawasan BSD dengan transportasi umum seperti Transjakarta atau KRL.

Stasiun KRL terdekat dari ICE adalah Stasiun Cisauk yang beberapa waktu yang lalu sempat viral di twitter setelah kecantikannya diupload oleh Pak Sutopo BNPB. Stasiun ini memang tampak lebih modern daripada stasiun KRL lain. Banyak ojek online siap mengantar dari stasiun ini sampai ke ICE dan sebaliknya.

Hub yang menghubungkan jalur Cisauk/Serpong/Rangkasbitung ini dengan kota Jakarta adalah Stasiun Tanah Abang, jadi kalau posisi di kota langsung saja menuju Tanah Abang.

Kalau sudah sampai di ICE, carilah Gate 7 karena ini pintu masuknya. Datanglah di waktu yang tepat biar bisa cepet masuk tanpa harus antri panjang. Nggak usah bawa makanan ke dalam karena akan disita. Alternatif kalau lapar bisa makan di foodcourt dengan harga layaknya makanan mall/event atau keluar gedung cari di luar. Keluar masuk pameran gratis dan tanpa tiket.

Saya nggak tahu kenapa BBW tahun ini kid-friendly sekali. Selain disediakan area permainan, porsi buku dan alat peraga anak di pameran ini bisa dibilang banyak, mungkin sampai 35-40% area. Jatah buku impor jadi berkurang apalagi buku Indonesia juga banyak masuk ke pameran ini. Sebuah penurunan sih menurut saya dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Tapi tak apalah, mungkin nanti kalau sudah punya anak jadi mensyukuri kondisi seperti ini. Karena sekarang datang sendiri aja jadi nggak tertarik masuk ke area anak.

Karena niat datang ke BBW bukan untuk belanja buku melainkan untuk jalan-jalan, saya tidak  menyiapkan list target buku yang mau dibeli. Prinsipnya saya datang kesana, lihat-lihat, kalau ada yang eyecathcing ambil, kalau kebablasan sampai di luar budget eliminasi beberapa buku lalu kembalikan ke tempatnya.

Kembalikan ke tempatnya ya kalau ada buku yang nggak jadi dibeli biar rapi dan nggak menyulitkan orang yang serius mau beli buku itu. Sekalian meringankan kerjaan para volunteer BBW yang bekerja shift-shiftan selama 11 hari.

Memilih buku mana yang harus dieliminasi bukan urusan gampang karena buku yang dipamerkan di BBW memang kebanyakan best seller internasional. Tapi tentu harus tetap rasional dan ingat bahwa tiga bulan lagi BBW datang ke Bandung. Artinya, sebagai responsible buyer sebaiknya beli buku sejumlah yang habis dibaca dalam 3 bulan saja, besok beli lagi kalau habis.

Saya keluar dengan hanya membawa 12 buku, itupun yang benar-benar untuk saya hanya 7, sisanya titipan dan buku yang memang saya rencanakan untuk diberikan ke orang. Kebanyakan yang saya ambil buku nonfiksi karena lagi tertarik dengan yang semacam time traveller, sejarah manusia, teknologi luar angkasa & interstellar, dan hal-hal yang menjadikan tampak keren kalau kita bisa ngobrol soal itu wkwkwk

Kalau harga buku-buku yang dijual di BBW diplot dalam grafik nantinya akan muncul distribusi normal dimana mayoritas buku dijual antara 70-90 ribu. Kalau dilihat harganya saja memang jadi nggak murah-murah amat walaupun sudah didiskon 60-80% (menurut poster), mending beli di gramedia atau togamas, mungkin ada yang mikir begitu.

Tapi hanya sedikit buku BBW yang bisa didapat di Gramedia, itupun paling versi terjemahan bahasa Indonesianya. Kalau datang ke Periplus atau Books&Beyond mungkin lebih banyak dan versi English, tapi harganya diatas 300 ribu, begitu pula kalau beli online. Jadi worth it banget beli buku di BBW sampai para penyedia jastip banjir orderan gara-gara banyaknya peminat buku-buku berkualitas ini yang nggak bisa datang ke tempat pameran.

Hari ini (12 Maret) BBW Jakarta 2019 sudah berakhir. Untuk kamu-kamu yang belum sempat datang atau yang masih lapar mari sama-sama kita tunggu kehadiran BBW Bandung beberapa bulan lagi.
See you!

Salam,
Chandra

Move Straight Towards Your Fears


Satu
Dulu saya pikir kalau berani keluar dari zona nyaman itu artinya kita sudah berkembang menjadi sosok yang lebih baik. Tapi hari ini saya paham bahwa ada syarat yang harus dipenuhi agar keberanian kita meninggalkan zona nyaman tidak berakhir menjadi sebuah kesia-siaan.

Oops, bukan keberanian meninggalkan, terkadang ada orang yang terpaksa keluar dari zona nyamannya. Mungkin ada orang di sekitar kita yang kehilangan pekerjaannya, keluarganya mendapat masalah, atau tertunda cita-citanya. Ada juga kasus saudara-saudara kita yang mungkin seumur hidupnya belum pernah benar-benar merasakan yang namanya zona nyaman.

Sudah banyak orang bicara soal keluarlah dari zona nyamanmu. Namun berada di luar zona nyaman tidak mudah, ada yang namanya fear zone dan learning zone. Ternyata wajar jika kita kehilangan kepercayaan diri, merasa kikuk/inferior, atau bingung pada langkah-langkah awal kita beranjak keluar dari zona nyaman.

Kita tidak perlu menjadi gagah sepanjang waktu. Sebaliknya justru pada kondisi ini kita harus ikhlas merendah, kalau bisa menyembunyikan siapa kita dan apa yang sudah dicapai sebelumnya. Ibarat gelas yang harus dikosongkan isinya agar bisa diisi dengan yang baru, yang lebih baik, lebih manis.

Tidak bisa tidak, kita pasti merasa kecil ketika masuk ke lingkungan, komunitas, sekolah, pekerjaan baru. Mungkin ada yang cepat beradaptasi tapi ada juga yang minder (lack of self-confidence). Tidak masalah karena itu tahap yang harus dilalui untuk naik. Ikhlas menerima bahwa hari tak selalu cerah, karena tahu di balik awan matahari tetap bersinar, selalu ada jalan.

Setelah mampu berdiri tegak, langkah selanjutnya kita masih harus belajar. No way bisa maju tanpa berbekal ilmu-ilmu baru. Ilmu adalah bekal yang tidak berkurang sedikitpun walaupun dibagi-bagi, jarang ada entitas yang sifatnya begitu. Belajar apapun karena yang tampak tidak berguna di dunia pun tetap dijanjikan diangkat derajat orang yang memiliki dan mengamalkannya. Lalu ingat kata-kata ini:

Kalau kamu merasa tidak berguna, ingatlah dongkrak. Dongkrak di mobil itu nggak ada gunanya kecuali waktu ban bocor. Kalau jadi dongkrak mungkin kita bertanya-tanya ngapain aku disini, nggak pernah disentuh, nggak pernah diberi kepercayaan, dll. Tapi ketika ban bocor dia jadi yang paling penting. Bertahan untuk tidak karatan dan berguna maksimal ketika dibutuhkan membutuhkan ilmu dan dedikasi yang tinggi.

Dua
Saya pernah bilang pada orang tua untuk jangan mengkhawatirkan saya di perantauan, selama saya masih menulis artinya saya baik-baik saja. Tapi bulan Desember dan Januari kemarin saya tidak menulis. Bahkan blog ini jadi nggak bisa dibuka karena saya terlalu tidak mood untuk memperpanjang sewa domainnya. Sekarang saya ganti sekalian dari .com menjadi .id, rasanya lebih kekinian untuk sebuah blog pribadi.

Harus diakui bahwa 4 bulan terakhir saya tidak berada dalam kondisi ideal untuk tumbuh. Yah saya baru bisa menuliskannya sekarang karena bahkan kemarin tidak cukup berminat untuk membuka dashboard Blogger.

Ada beberapa kejadian yang memaksa saya keluar dari zona nyaman. Mungkin ini tikungan yang paling besar yang pernah saya alami sejauh ini karena sebelumnya konflik-konflik yang muncul sifatnya temporer. Misalnya masalah di organisasi kampus yang nanti selambat-lambatnya akan selesai kalau pertanggungjawaban sudah diterima, atau ketika sudah lulus dari kampus.

Tapi yang terjadi akhir-akhir ini bisa jadi memengaruhi jalan hidup saya kedepannya. Detail apa yang terjadi nggak akan saya ceritakan disini, cuma beberapa orang saja yang tahu.

Walaupun tidak tertulis di gambar itu saya mau menambahkan satu lagi ciri-ciri orang yang berada di fear zone yaitu pretending to be OK. Saya selama ini berlagak baik-baik saja walaupun sebenarnya saya khawatir akan beberapa hal.

Life at this stage is no longer a simulation.
Selama ini saya seperti berada di dalam sebuah simulasi. Sekalipun melakukan kesalahan atau ditimpa kejadian buruk, itu nggak akan membuat saya jatuh-jatuh amat. Ibarat game kalau mati nanti bisa direset lagi. Apalagi ketika masih di dalam institusi yang namanya sekolah (dan universitas), saya merasa aman dan nyaman. Beberapa teman bilang nasib saya selalu baik dulu ketika kuliah, berada di tempat yang tepat di waktu yang tepat.

Tapi Malcolm Gladwell menulis dalam David and Goliath bahwa yang selama ini dianggap sebagai kelebihan belum tentu benar menguntungkan. Nasib saya yang alhamdulillah mujur itu membuat saya kurang siap untuk beberapa hal. Contohnya, sampai saat ini saya belum pernah menjalani interview mencari kerja karena tahun 2017 saya sudah direkrut sebuah perusahaan sebelum saya selesai tugas akhir.

Dalam kondisi seperti itu sebisa mungkin saya mencari pelampiasan yang paling baik. Saya coba merenungi mungkin ada aktivitas-aktivitas yang selama ini kurang disukai-Nya. Atau mungkin ada orang-orang yang pernah saya sakiti baik sadar ataupun tidak. Mungkin ada postingan-postingan di sosial media yang dilihat orang lalu membuat orang itu tersinggung atau sedih.

Saya mungkin punya andil dalam tertundanya kuliah seorang teman beberapa tahun yang lalu. Di saat yang sama saya petentang-petenteng karena sudah diterima di ITB. Saya pernah salah mengajak makan teman yang ternyata saat itu dia benar-benar sedang tidak punya uang, tapi tidak mengaku. Saya posting di instagram ketika bekerja, saat teman-teman yang lain belum mendapat pekerjaan.

Saya menyesal karena tidak memiliki cukup empati. Bukan hanya karena jiwa saya kurang terasah, tapi juga karena secara lahiriah saya belum pernah benar-benar berada dalam posisi sulit. Saya mulai menghibur diri bahwa mungkin ini cara Allah untuk 'merenovasi' saya dengan memberikan pengalaman-pengalaman yang belum pernah saya dapatkan.

Ngutip kata-kata Aznad dalam blognya:
Tuhan itu sangat komplit dan menyeluruh. Tidak akan dikabulkannya doa kita sampai Dia persiapkan dulu hal-hal kecil maupun prasarana dan sarananya sehingga kita mampu dan sukses menjalani apa yang kita panjatkan kepada-Nya. Saat doa terkabul, tidak dibiarkannya kita menjalaninya sendirian. Tidak dilepaskannya kita begitu saja. Semua titik kecil yang berserakan dihimpunkan-Nya menjadi sebuah aksara kun fayakun untuk kita. Saat doa terkabul, kita telah direngkuh untuk terlibat menjadi bagian dari perencanaan-Nya. dan bukankah sebuah kehormatan, jikalau hidup kita telah dimasukkan dalam lintasan Qadha-Nya?

Lalu, mungkin menjadi bagian dari kurikulum-Nya juga, bahwa bulan lalu ibu saya masuk rumah sakit. Menjadi hal yang tidak biasa karena ini pertama kalinya beliau sakit sampai harus opname, di luar saat melahirkan. Ini juga menjadi pengalaman pertama saya menunggu di rumah sakit. Melihat pasien-pasien di rumah sakit membikin sadar bahwa bisa menarik nafas segar dan membuka mata lalu berdiri bersembahyang di pagi hari sudah merupakan hal yang patut disyukuri.

Tiga
Sepertinya sekarang sudah terlalu berlarut-larut dan kurang baik hasilnya kalau hanya digunakan untuk merenung dan merenung. Tulisan ini juga menjadi cekpoin untuk berpindah dari fear zone ke learning zone. Berbekal masukan dan pelajaran yang saya terima beberapa waktu ke belakang saya  coba untuk rebound.

Semua dimulai dengan menyadari bahwa kondisi gak burut-buruk amat kok. Kenapa to? Mosok hidup harus selalu diatas? 

Terkadang kita perlu mundur beberapa langkah untuk bisa melihat gambaran utuh dari seatu kejadian.

Bersyukur masih ada keluarga yang memahami, teman-teman yang mau berbagi tawa dengan senang hati. Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

All is well.