Review Film MIB International



Kalau kalian seperti saya dalam hal belum nonton film-film MIB sebelumnya, nggak usah khawatir film ini tetap bisa dinikmati. Dari desain posternya sudah bisa dilihat bahwa duet Thor dan Valkyrie adalah jualan film ini. Sudah pernah bermain bersama sebelumnya di MCU membuat mereka tampak klop walaupun secara komedi masih kurang jenaka. Genre action-comedy yang ditawarkan film ini baru mulai nyala setelah munculnya Pawny.

Agent H digambarkan Thor banget. Ini bukan keputusan yang buruk mengingat persona Chris Hemsworth sudah sangat melekat dengan Thor. Mungkin daripada mau menjadi orang yang berbeda tapi Thor-nya kebawa-bawa mending dibuat sangat Thor sekalian. Lagian bisa dipastikan sebagian besar yang nonton MIB juga nonton Endgame kemarin, jadi tidak mungkin tidak tahu siapa itu Thor.

Untuk Agent M, salah satu yang saya suka dari film ini adalah cerita perjalanan Molly hingga bisa bergabung dalam Men In Black. Pas, tidak membuang durasi, dan heroiknya dapat. Ketika mengenakan setelan jas MIB Agent M juga tampak punya wibawa.

Justru yang kurang adalah pengenalan konflik manusia-alien dan mata-mata di MIB. Seperti belum panas tahu-tahu tokoh protagonisnya sudah menang. Main battle-nya juga terlalu singkat dan straight forward. Padahal kalau dieksplor lebih jauh hubungan manusia-alien ini bisa menjadi premis yang menarik. Selain itu kebebasan untuk 'mendesain' alien juga bisa dimanfaatkan dengan membuat creature yang menarik perhatian dan adorable seperti Tarantian kecil. Sayangnya di MIB hal ini kurang dibuat nendang.

MIB International menggunakan template film action comedy yaitu dua tokoh utama berusaha menyelesaikan kasus tetapi usahanya terganggu oleh adanya musuh dalam pihak sendiri. Jadi teringat Rush Hour-nya Jackie Chan, persis. Bedanya kalau Lee dan Carter mengandalkan bela diri, Agent H dan Agent M menggunakan senjata-senjata canggih. Senjatanya keren-keren imho.

Sebagai penggemar film action comedy tentu saya tidak akan melewatkan film MIB ini. Walaupun secara cerita tidak matang-matang amat tetapi cukup menghibur. Sebuah film ringan yang cocok ditonton untuk mengisi waktu libur, Plus supaya kita tahu MIB itu apa jadi kalau ngobrol tentang MIB lama tidak benar-benar buta.


Jogja dan UMR-nya


Saya adalah orang yang mengapresiasi proses yang dialami oleh seseorang atau sesuatu daripada kondisi dimana dia memulai dan dimana dia sekarang. Bagi saya seberapa istiqomah seseorang memperbaiki diri lebih penting daripada bagaimana keadaannya sekarang. Saya pernah menulis soal ini di Posisi, Kecepatan, Percepatan

Posisi yang tinggi saat ini tidak berarti banyak kalau setiap hari trennya terus menurun. Sebaliknya orang yang awalnya diremehkan kalau dalam setiap waktunya selalu introspeksi diri dan melakukan perbaikan lambat laun (bahkan ada yang dengan cepat) akan naik. Itu yang membuat roda kehidupan terus berputar.

Bukan hanya dalam menilai seseorang. Pendekatan yang sama juga saya gunakan dalam melihat benda-benda mati, bahkan non-fisik. Salah satunya UMR Jogja yang selama ini dikeluhkan angkanya terlalu kecil
Jogja itu terbuat dari UMR terendah, kesenjangan ekonomi terparah (indeks gini tertinggi), tapi pembangunan manusia tertinggi (IPM tertinggi) dan paling bahagia (indeks kebahagiaan tertinggi di jawa). Jadi, cari materi yang gak gampang di Jogja. Carilah sehat, cerdas dan bahagia - @iqbal_kautsar 
Jogja adalah daerah istimewa dengan sejarah yang panjang. Jogja adalah kota yang besar sejak ratusan tahun yang lalu bahkan pernah menjadi ibukota sementara. Semua cerita-cerita manis masa kerajaan Mataram hingga penjajahan tentulah menunjukkan Jogja adalah kota yang maju sejak dulu. Foto-foto lama membuktikan bahwa infrastruktur kota ini modern pada masanya dengan jalan yang lebar dan bagunan-bangunan kokoh.

Jogja, atau DIY pada umumnya adalah daerah yang dihormati karena sejarah dan tradisinya. Sampai saat ini dalam benak saya Jogja sejajar dengan kota-kota besar macam Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang dan lain sebagainya. Sayangnya tidak begitu, setidaknya dari sisi ekonomi.

Budaya merasa cukup dan tidak banyak menuntut adalah salah satu yang lekat dengan masyarakat Jogja. Tapi seiring berjalannya waktu, ketika arus informasi kian tak terkendali, sebagian masyarakat Jogja tidak lagi menganggap itu cara hidup yang rasional.

Ekonomi cakupannya luas, saya ingin mempersempitnya menjadi kesejahteraan. Walaupun rejeki bukan hanya uang, tapi kalau mau mengukur kesejahteraan suatu wilayah salah satu parameternya adalah UMR daerah tersebut. Sebab, UMR ini diturunkan dari perhitungan Kebutuhkan Hidup Layak (KHL).

Biaya hidup di Jogja murah. Budaya gotong royong dan kerukunan antar warganya juga membantu menekan biaya hidup di atas kertas. Penghasilan 1,8 juta perbulan cukup untuk hidup layak di Jogja, tapi apa cukup untuk hidup nyaman dan aman? Untuk makan sehari-hari cukup, tapi bagaimana kalau pekerja dengan upah sekian ingin memiliki hunian?

Apakah angka 1,8 juta perbulan kecil? Iya. Mari jangan bicara dulu soal Surabaya dan Bandung, UMR Kota Yogyakarta (Rp1.846.000) yang tertinggi di Provinsi DIY bahkan lebih kecil daripada Banyuwangi (Rp2.132.779), serta jauh lebih kecil dari Kota Malang (Rp2.668.420), Denpasar (Rp2.553.000), dan Kota Semarang (Rp2.498.587), serta tidak sampai setengahnya Sidoarjo (Rp3.864.696). See?

Apakah sekarang Jogja sudah beda level dengan kota itu? Sekarang Jogja satu level dengan Kabupaten Garut, Majalengka, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lumajang, dll kalau dilihat dari segi UMR yang di angka 1,8 juta-an.

Lupakan daerah-daerah middle class macam Cirebon, Kediri, Lombok, Bengkulu, dll karena mereka lebih tinggi dari Jogja. Fakta lain, UMK terendah di Jawa Timur adalah Ngawi (Rp1.763.267) masih lebih tinggi dari Kabupaten Sleman (tertinggi kedua di DIY setelah Kota Yogyakarta).

Mengenai angka-angka itu silakan dicari lebih jauh datanya banyak tersebar di internet. Saya coba bergerak sedikit lebih jauh dengan berbekal pertanyaan: angkanya memang kecil, lalu bagaimana dengan perubahannya dari tahun ke tahun?

Saya coba kumpulkan data UMR beberapa daerah tahun 2009 dan 2019. Namun untuk kota dan kabupaten di DIY saya hanya menemukan data dari tahun 2014.

Dari data yang berhasil saya dapatkan, angkanya saya tabulasikan dalam tabel berikut:


Dari tabel tersebut bisa dilihat bahwa selain nilai UMR yang rendah, pertumbuhan UMR di D.I.Yogyakarta juga alon-alon waton kelakon. Untuk Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Bantul saya melakukan ekstrapolasi linear sehingga angka persentase kenaikan di situ sudah dinormalisasi sesuai data yang lain yaitu kenaikan selama sepuluh tahun terakhir. Sementara untuk Provinsi DIY secara keseluruhan data tahun 2009 tersedia sehingga tidak perlu dilakukan ekstrapolasi serupa.

Hasilnya, dapat dilihat bahwa UMR DIY hanya naik 124% selama 10 tahun terakhir. Bahkan Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul memiliki angka pertumbuhan yang lebih kecil. Peningkatan ini hanya sekitar setengah pertumbuhan UMR di kawasan Jabodetabek, Bandung, dan Semarang. Kota-kota besar di Jawa Timur bahkan tumbuh hingga 300% lebih.

Kita perlu berdiskusi tentang penyebab rendahnya rate kenaikan UMR di DIY dibandingkan daerah lain di Indonesia. Dalam pikiran saya, kondisi ini disebabkan oleh faktor dari dalam yaitu masyarakat DIY sendiri. Sebagai wilayah dengan sejarah yang panjang dan budaya yang melekat, warga DIY tampaknya mengambil posisi konservatif dalam menghadapi perkembangan jaman.

Nilai-nilai seperti sopan santun, gotong royong, dan lain sebagainya diturunkan dari generasi ke generasi dan membuat nilai ini terjaga sampai saat ini. Kerukunan dan kepedulian antar warga membuat cost hidup di Jogja menjadi jauh lebih murah daripada daerah-daerah lain.

Pada level pengambil kebijakan, dengan masih kuatnya supremasi Kraton, ditambah gerakan para SJW (social justice warrios) membuat Jogja tidak begitu friendly bagi pemodal besar yang ingin menanamkan investasi di daerah ini dalam bentuk usaha atau infrastruktur masif. Pada satu sisi ini menjadi penyebab tertinggalnya Jogja dibanding kota-kota macam Bandung, Semarang, dan Surabaya dalam hal pembangunan. Namun di sisi lain warga lokal Jogja tidak merasa perbandingan itu penting, yang penting mereka dapat hidup nyaman dan stabil di kota tercintanya.

Adanya Sultan Ground (SG)  yang tersebar di seluruh penjuru DIY membuat hampir tidak mungkin di DIY akan berdiri kota mandiri raksasa seperti BSD atau Kota Baru Parahyangan. Dalam pembangunan infrastruktur jalan tol juga Sultan tidak ingin tol dibangun di permukaan tanah tetapi harus elevated walaupun biayanya jauh lebih mahal. Hal ini membuat infrastruktur Jogja tidak semaju kota-kota besar lainnya di Indonesia.

DIY kurang menggiurkan bagi investor karena aksesnya yang terisolasi dari kota besar lain dan tidak memiliki infrastruktur penunjang produksi skala besar. DIY tidak (atau belum) terhubung jaringan tol, tidak punya pelabuhan untuk pengiriman logistik, dan operasi bandara baru belum maksimal. Akibatnya tidak banyak modal (uang) masuk ke Jogja. Hidup masyarakat Jogja adem ayem, namun kalau dihitung dengan uang kurang menggiurkan.

Tapi kebahagiaan tidak semata-mata uang. Kedamaian dan kemudahan hidup di Jogja adalah sesuatu yang menggoda bagi orang yang ingin tinggal di sana. Banyak pertimbangan orang ingin bekerja dimana dan tidak semuanya bisa kita pahami. Pertimbangan dekat dengan keluarga adalah sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan angka.

Jogja dikenal sebagai kota pelajar dengan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang namanya harum hingga tingkat nasional. Jogja juga kota yang mampu mempertahankan budayanya ditengah gempuran modernisasi. Tinggal di Jogja sama sekali bukan pilihan yang buruk.

Kita sebagai generasi milenial punya pertimbangan yang lebih besar dalam memilih dimana kita akan tinggal. Marilah kita bertanya dimana kita akan lebih bermanfaat, lalu tujulah tempat itu.
Khairunnas anfa'uhum linnas
Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi manusia lainnya. Jika memang kita akan lebih berguna di ibukota, pergilah walaupun orang bilang ibukota kejam. Jika memang mampu mengembangkan daerah-daerah terdepan, berangkatlah, rangkul masyarakat di sana dan tingkatkan taraf hidupnya. Jika memang lebih baik di Jogja, pergilah dan rasakan kenyamanan hatinya.






Bukan Menghakimi, Hanya Sedikit Suudzan


Saya punya unpopular opinion yang kalau dituliskan di twitter atau instagram mungkin akan dihujat, atau minimal dirasani. Saya kok merasa susah untuk tidak suudzan ketika melihat teman berpasangan (sepertinya pacaran) pergi ke luar kota berdua saja untuk liburan selama beberapa hari.

Saya jarang buka instagram akhir-akhir ini. Tapi beberapa waktu lalu saya tidak sengaja melihat insta-story salah satu teman lama yang berlibur berdua dengan lawan jenis. Saya jadi agak kepo, bukan karena ingin tahu mereka ngapain aja, tapi cuma penasaran mereka liburan kemana dan berapa lama?

Dari foto boarding pass yang diupload teman saya ini bisa diketahui kalau mereka liburan ke salah satu kota besar di Pulau Sumatera. Sebagai catatan, teman saya ini berdomisili di Jogja. Pertanyaan kemana sudah terjawab dari sini.

Selanjutnya saya iseng mengecek kelanjutan liburan teman saya ini. Kepo sekali ya, sorry. Saya pantau insta-story-nya dan ternyata mereka berdua ini liburan selama 5 atau 6 hari. Setelah dari Sumatera itu mereka ke Bandung by the way. Saya jadi mikir, di tengah mahalnya tiket pesawat liburan multi-kota masih affordable ya?

Begini, menjawab pertanyaan kemana dan berapa lama penting karena itu berkaitan dengan seberapa gampang untuk berprasangka baik. Kalau liburan atau jalan-jalan masih di kota domisili atau sekitarnya saja, masih bisa diharapkan malamnya pulang ke rumah masing-masing. Tapi kalau ke kota yang jauh kemungkinan nginap di hotel, right? Satu poin yang mendekatkan ke arah suudzan.

Saya tahu bahwa belum tentu mereka nginep bersama, saya juga masih punya keyakinan bahwa tidak semudah itu terjadi. Maka masuk ke pertanyaan kedua, berapa lama. Liburan 5-6 hari tentu beda dengan bertemu setengah hari pagi hingga petang. Belum lagi faktor 'melewati malam' yang membuat resiko berlipat tinggi.

Orang yang lebih 'kanan' dan polos dari saya tentu akan lebih muni-muni tentang liburan jenis ini. Tapi orang yang lebih 'kiri' dan liberal dari saya mungkin menganggap saya kolot dan ketinggalan jaman. Itulah alasannya saya menuliskan ini di blog bukan di twitter atau instagram. Alasan lain, takut ada yang merasa tersindir padahal belum tentu saya bicara soal dia.

Adik saya perempuan, yang artinya di keluarga saya ada anak perempuan. Orang tua tidak pernah mengijikan adik saya ini berlibur dengan model seperti ini. Syarat dan ketentuan untuk pergi liburan cukup ketat. Sebagian besar waktu saya juga dijalani di masyarakat yang 'hijau' dan menjunjung budaya ketimuran. Saya sendiri walaupun belum baik tapi mendapat kontrol sosial yang cukup untuk menjauhkan saya dari aktivitas seperti itu.

Saya suka dengan salah quote dari film Jomblo yang dibintangi Ringgo Agus, Christian Sugiono, dkk
Hal-hal kaya gini nih harus dilakukan dengan penuh persiapan, tapi juga . . . tanpa dosa
Eits saya bukan menghakimi, itu saya tulis dosa di situ karena memang dari filmnya begitu, silakan tonton di youtube. Link film jomblo https://www.youtube.com/watch?v=u1MSnIs0sx4

Saya punya pilihan melihat hal ini, untuk diam saja atau mencoba menasehati. Tapi saya tidak dalam posisi yang nyaman untuk berkomentar langsung di depannya. Maka untuk saat ini saya introspeksi ke dalam saja. Bahwa saya juga punya cara untuk dijalani, dan bukan cara ini.

Astaghfirullah, mudah sekali ya berprasangka buruk

Kepo


Sekarang kata kepo sudah masuk ke KBBI loh. Menurut KBBI kepo artinya rasa ingin tahu yang berlebihan tentang kepentingan atau urusan orang lain. Ada beberapa dalil, tapi yang paling kuat mengatakan kepo awalnya adalah singkatan dari Knowing Every Particular Object.

Hampir setiap kata punya nuansa, termasuk kepo. Sayangnya, konotasi yang disematkan padanya cenderung negatif. Seolah orang yang kepo selalu telah melanggar hak privasi orang lain. Padahal belum tentu, bisa jadi kitanya sendiri yang menaruh informasi itu untuk publik. Orang yang kepo hanya butuh sedikit usaha untuk tahu tentang kita, dengan scroling media sosial misalnya.

Saya akui saya juga orang yang sering kepo. Bukan karena ingin tahu privasi orang lain, tapi saya merasa ada beberapa keuntungan ketika kita tahu banyak tentang orang. Bukankah badan intelejen dibentuk dan dibayar untuk itu?

Dengan tahu apa yang seseorang suka atau benci misalnya, kita bisa membuatnya lebih positif hanya dengan mengajaknya berbicara tentang yang disukainya dan menghindari menyebut hal yang membuatnya tersinggung. Bayangkan bencana yang ditimbulkan dari pertanyaan sederhana "Bapak apa kabar?" kepada orang yang ternyata yatim.

Selanjutnya, dengan tahu seseorang itu berasal dari mana atau pernah sekolah dimana kita bisa memperbanyak bahan obrolan yang berbobot. Apalagi jika kita dan lawan bicara memiliki kesamaan dalam hal alumni sekolah atau kuliah di kampus yang sama, obrolan sederhana bisa jadi ajang nostalgia.

Sisi positif lain dari kepo adalah jika kita baru akan pertama kali ketemu dengan seseorang, kita bisa cek dulu wajah dan penampilannya seperti apa jadi mudah untuk mengidentifikasi. Operasi intelejen yang ini gampang dilakukan di jaman media sosial seperti sekarang.

Masih ada beberapa sisi positif dari kepo, tapi tiga alasan di atas adalah yang paling signifikan. Dengan melakukan itu, saya jamin kita akan lebih mudah masuk ke lingkungan baru atau mengenal orang baru. Apalagi untuk orang introvert macam saya.

First impression means more sekarang ini. Beberapa menit awal berkenalan atau bertemu kita sudah bisa menilai apakah orang/grup ini asik atau tidak, nyambung atau tidak, jodoh atau tidak, eh. Dengan kepo lebih dulu, kita bisa punya kendali lebih terhadap first impression diri kita di mata dia/mereka.

Jangan sampai kita salah ngomong hal-hal yang membuat mereka ilfeel. Mending kalau itu sekedar orang yang ketemu satu dua kali saja, tapi kalau itu klien bernilai ratusan juta gimana?

Agar tidak menimbulkan masalah tentu kepo harus dikasih batasan. Janganlah kita sampai ingin tahu segala urusan dan kepentingan orang. Kita cukup mengeksplor informasi-informasi yang sifatnya publik dan yang paling mudah adalah dengan memanfaatkan media sosial.

Kalau kita memang benar-benar ingin tahu tentang orang, kita bisa cek medsos orang tersebut mulai dari facebook, twitter, instagram, askfm, blog, linkedin, youtube, dan lain sebagainya. Memang tidak semua orang punya akun disana, tapi kita berharap saja bisa menemukan namanya di kolom pencarian.

Instagram memberi tahu kita tentang aktivitasnya sekarang, siapa teman-temannya, dan dimana dia beraktivitas. Facebook lebih ke melihat sejarah orang tersebut, dimana dia pernah bersekolah, siapa mutual friend kita, bahkan kita bisa lihat foto-foto masa lalunya kalau belum dihapus.

Twitter dan blog berguna untuk tahu seperti apa personal orang tersebut karena dua sosmed ini berbasis tulisan dan kata-kata. Di twitter lihat apa yang dia tweet, retweet, dan terutama like. Blog memberi informasi lebih dalam tentang orang tersebut karena lebih personal dan biasanya banyak curhatan

LinkedIn jika dikelola tentu menjadi sumber informasi komplit tentang karier profesionalnya, sangat sesuai untuk kepo urusan bisnis dan pekerjaan. Di youtube kita bisa cari akunnya, lihat liked video jika dipublish, dan terutama lihat video apa yang pernah diupload. Generasi milenial ini sering upload video untuk kepentingan lomba atau seleksi, sumber bagus untuk kita tahu lebih banyak tentang orang itu.

Sosial media lain punya metode kepo dan jenis informasi yang beragam sesuai dengan karakter sosmed masing-masing. Jangan lupakan juga cara paling mudah untuk kepo yaitu dengan search namanya di pencarian google, kalau banyak sepak terjangnya pasti keluar beritanya.

Selain kepo orang yang bersangkutan, kita juga bisa memanfaatkan sosial media milik teman atau keluarganya, ini juga bisa memberikan informasi lebih dalam jika dibutuhkan. Tentu seberapa dalam kita mencari tahu tergantung seberapa besar keperluan kita untuk tahu. Tetap jaga kesopanan, hanya lihat informasi yang memang dia ijinkan untuk diakses oleh publik.

Disini kita juga harus ingat bahwa kita juga bisa menjadi obyek kepo. Jika kita tidak ingin banyak diketahui orang lain pastikan kita membedakan mana informasi untuk publik dan mana yang untuk lingkaran dekat saja. Jika merasa terganggu dengan orang yang tahu banyak tentang kita jangan langsung menyalahkan dia kepo, cek juga apakah kita dengan mudahnya memberikan data.

Kita juga harus waspada di media sosial, jangan asal posting nomor hp pribadi atau orang lain tanpa ijin, jangan dengan mudah memberitahukan nama orang tua, kakak, adik, atau saudara lainnya, dan jangan melakukan diskusi sensitif atau rahasia di timeline media sosial.

Kepo dengan penuh tanggung jawab dan sopan santun ya!


Belajar dari Statistik Bola Part 1

Ada sebuah metode analisis teknis sepakbola yang sekarang sedang naik daun. Metode ini dapat digunakan untuk memprediksi tim mana yang akan memenangkan pertandingan, bahkan kompetisi. Metode ini pula yang saat ini banyak digunakan sebagai rujukan tim-tim bola Eropa untuk memilih pemain yang akan dibeli pada bursa transfer.

Expected Goal (xG) dan Expected Point (xP) menjadi dua variabel yang banyak dibicarakan saat ini karena dipercaya sebagai besaran yang sederhana namun akurat untuk menggambarkan permainan sebuah tim di lapangan sepakbola. Menang dan kalah dapat dilihat dari skor yang terpampang pada peluit akhir pertandingan. Namun, xG dapat menjelaskan kenapa satu tim layak kalah dan yang lainnya menang. Begitu pula xP untuk skala kompetisi.



Begini penjelasan singkat tentang xG

Seiring berkembangnya industri sepakbola, ada beberapa pihak/situs yang mengumpulkan data tembakan (shot data) dari berbagai liga sepakbola profesional selama sekian tahun hingga terkumpul setidaknya puluhan ribu tembakan. Tembakan di sini diartikan tendangan berupa attemps untuk mencetak goal ya, kalau cuma operan tidak dihitung.

Selanjutnya, unsur yang paling dilihat dari data tersebut adalah dari mana tembakan dilakukan dinyatakan dengan jarak dari gawang dan sudutnya. Sebagai contoh perhatikan ilustrasi berikut:


Angka-angka tersebut punya arti berapa persen tendangan (dan sundulan) yang dilakukan di area tersebut yang berhasil menjadi goal. Semakin dekat dengan gawang dan semakin lurus sudutnya tentu semakin besar kemunginannya menjadi goal. Pada dasarnya xG menggambarkan kualitas peluang.

xG biasanya dinyatakan dalam desimal, bukan persen, seperti:

37% menjadi 0.37
8% menjadi 0.08
dst

Angka xG kemudian dijumlahkan dalam satu pertandingan bahkan dalam satu musim kompetisi untuk melihat seberapa bagus performa tim tersebut. xG diyakini lebih representatif daripada jumlah goal yang dicetak tim itu sendiri karena xG mengeliminasi faktor keberuntungan.


Selanjutnya, tentang xP alias expected points

Dua tim yang bertanding di lapangan bola pasti memiliki xG yang dihitung berdasarkan peluang yang mereka dapatkan di pertandingan itu. Expected points dihitung berdasarkan selisih xG yang dimiliki kedua tim, dengan ketentuan berikut:


Ilustrasinya, misal Persib Bandung lawan PSS Sleman setelah dihitung xG-nya Persib 2,1 vs 1,4 PSS. Maka selisih xG Persib unggul 0,7 atas PSS, sehingga xP untuk Persib adalah 2 (baris ketiga) dan untuk PSS 0,5 (baris 6). Catatan: yang xG kalah nilainya jadi negatif, kasus PSS ini jadi -0,7.

Nilai xP yang diperoleh masing-masing tim dalam suatu kompetisi dijumlahkan sepanjang musim sehingga bisa dibuat klasemen berdasarkan xG dan xP. Tentu penilaian ini lebih rumit daripada skoring yang biasanya dipakai dimana tim yang menang dapat 3 poin, imbang 1, dan kalah 0. 

Ini adalah contoh klasemen liga Inggris yang dinyatakan dengan metode konvensioal sekaligus xP-xG: https://understat.com/league/EPL

Lalu apa keutamaan dari statistik xG dan xP ini? Jawabannya adalah prediksi

Telah terbukti dalam beberapa tahun terakhir bahwa perolehan xG dan xP mencerminkan performa tim tersebut pada musim berikutnya jika tidak melakukan perubahan pada masa istirahat kompetisi: membeli pemain, ganti pelatih, dll.

Jika melihat tabel untuk liga Inggris tersebut, jika tidak ada perubahan besar maka Manchester City dan Liverpool tetap akan menjadi unggulan dimana City tetap akan menjadi juara. Liverpool perlu merekrut penyerang baru yang cukup berkualitas untuk meningkatkan xG sehingga bisa mengimbangi City.

Konsekuensinya, xG dan xP juga menjadi pertimbangan ketika sebuah tim akan merekrut pemain. Jangan sampai membayar mahal untuk pemain gagal, contohnya Higuain ke Chelsea.


Chelsea melakukan kesalahan dengan membeli pemain yang xG-nya terus menurun, yang mana artinya pemain yang bersangkutan semakin tidak mampu mendapatkan peluang. Hasilnya xG Chelsea bahkan berada di bawah Arsenal dan MU.

Kemampuan xG dan xP untuk memprediksi masa depan sebuah tim semakin diakui. Lebih dari itu, di luar sepakbola pun konsep serupa dapat digunakan. Kita bisa memprediksi masa depan sebuah perusahaan, organisasi, universitas, sekolah, bahkan keluarga dan individu dengan melihat secara mendalam entitas yang bersangkutan.

Jika melihat keluarga misalnya, kita bisa mengobservasi bagaimana hubungan orang tua dan anak di keluarga tersebut, bagaimana bahasa yang digunakan, bagaimana cara keluarga itu menyelesaikan konflik, bagaimana hubungannya dengan tetangga, apakah keluarga menjunjung tinggi pendidikan, dan lain sebagainya.

Jika kita menemukan bahwa aspek-aspek itu bernilai baik, dapat diduga keluarga itu kondisi hidupnya akan membaik regardless bagaimana kondisinya saat ini. Sebaliknya, keluarga yang tampak stabil bisa lengser sedikit demi sedikit jika kebaikan-kebaikan tadi tidak dipelihara.

Kita sering bilang bahwa roda kehidupan berputar, yang di atas akan ada saatnya berada di bawah, dan sebaliknya. Kita sering kaget kok bisa berubah begitu cepat. Padahal jika kita mau melihat lebih dalam memang individu/keluarga/lembaga itu kehilangan pegangan sejak waktu-waktu sebelumnya.

Pada bagian ini saya banyak menjelaskan dari sisi sepakbolanya, nanti pada bagian berikutnya saya ingin lebih berkontemplasi tentang bagaimana kita bisa melihat masa depan dengan cara ini dalam dunia yang lebih luas dari lapangan sepak bola.

Review Film Single 2

Raditya Dika bilang film Single 2 ini adalah film terakhirnya yang mengangkat tema Jomblo, mengingat sekarang dia sudah menikah dan punya anak. Film ini sekaligus kelanjutan dari sekuel pertamanya yang rilis akhir 2015 lalu.

Beberapa pemerannya masih sama kecuali dua kawan Ebi yang dulu di Single 1 namanya Wawan (Pandji) dan Victor (Babe Cabita) digantikan oleh Johan (Yoga Arizona) dan Nardi (Ridwan Remin). Sayangnya dua orang ini seolah tiba-tiba muncul seperti meminta penonton untuk memaklumi, "FYI, ini temen Ebi, dia butuh temen biar ceritanya bisa dikembangin, terima aja ya".

Tik-tok antara Johan dan Nardi juga belum se-klop Wawan-Victor. Sebagian jokes-nya gagal membuat penghuni bioskop ketawa. Untuk Arya yang menggantikan Joe (Chandra Liow) okelah nggak jatuh. Menggunakan template penokohan yang sama dengan Single 1 sah-sah aja asal pemainnya bisa masuk ke template itu, dan sepertinya ini jadi dosa terbesar Single 2.

Hal yang saya kurang suka lainnya adalah lambatnya pace pada sejam pertama film. Rasanya ini film lama banget mau mengenalkan tokoh baru dan merecall background cerita Single 1, dan masih kurang kena juga. Lepas itu keadaan membaik karena sebenarnya plot yang dibangun Radit bagus terutama kesuksesannya memanfaatkan premis ibunya Angel yang pikun. Ceritanya bagus, tapi humornya kurang lucu.

Sebagai film komedi, kalau jokesnya nggak pecah jadi terasa nanggung banget. Apalagi ketika kursi bioskop terisi penuh tapi cuma satu dua orang yang ketawa, krik-kriknya berasa. Film ini juga menyajikan beberapa adegan french kiss yang membuatnya jadi kurang friendly untuk anak-anak. Dua hal ini sampai membuat saya gak enak sama orang yang saya ajak nonton, berasa salah milih film.

Netizen twitter membandingkan film Single 2 dan Target, film Radit lainnya. Sayangnya perbandingan ini bukan ke arah yang positif, melainkan mana yang lebih jelek dari dua film ini, sadis emang warganet. Saya curiga kesibukan Radit sebagai standup comedian dan youtuber membuatnya nggak punya cukup waktu untuk membuat karya yang baik dalam bentuk film. Bisa dimaklumi sih.

Kesimpulannya, master cerita film ini bagus, dengan plot twist yang lumayan berkualitas. Sayang jokes-nya tidak selucu yang saya bayangkan membuat saya jadi beberapa kali tengok jam, masih berapa menit lagi ini. Ada beberapa alasan yang membuat kamu sebaiknya nonton Single 2:

1. Kamu fans berat Raditya Dika dan gak mau ketinggalan satupun karyanya.
2. Mau nonton Ghost Writer tapi kamu alergi hantu, walaupun udah dikemas dalam bentuk film lucu.
3. Kamu udah nonton film lebaran lainnya.

Tetap, ini sebuah karya yang patut dihargai. Apalagi posternya, bagus, jadi ingin makan mie!




Skor dari saya yang awam ini: 6/10


Do I Look So Strange?

Beberapa waktu lalu ada yang viral di twitter yaitu soal keluhan para wanita tentang sebegitu tak acuhnya para pria pada penampilan, terutama sepatu. Ketika wanita menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih OOTD, pria memakai sepatu yang itu itu aja untuk berbagai acara.

Nampaknya niatan pria untuk hidup simple dianggap sebagai ketidakniatan dalam berpakaian. Saya jadi tergelitik dan nggak tahan untuk tidak berkomentar. Seperti biasa saya coba tanggapi dengan jenaka tapi malah dianggap serius dan agak di-salty-in.



Yawislah gapapa namanya netizen. Karena malas adu tanggapan di twitter, saya ingin ajak mereka-mereka naik mesin waktu untuk kembali ke masa kecil saya.

Saya besar di keluarga yang biasa-biasa saja. Sejak saya kecil sampai SMP, sepatu bukanlah barang yang menyediakan pilihan. Saya hanya punya dua pasang sepatu, satu sepatu bola, satu sepatu sekolah. Sepatu sekolah merknya Ardiles atau Bata, dan warnanya selalu hitam all black. Harus hitam karena aturan di sekolah saya dulu begitu.

Saat itu tidak terpikir di benak saya bahwa sepatu itu terikat dengan fungsi. Bagi saya satu sepatu untuk banyak acara. Andaikan sepatu bola nggak harus dilengkapi pul, mungkin saya main bola dengan sepatu sekolah itu juga.

Saya baru beli sepatu lagi jika sepatu yang lama sudah rusak. Jadi hampir tidak ada masa dimana saya punya lebih dari satu pasang sepatu sekolah. Tapi saya sudah harus bersyukur, ada teman yang terpaksa masih memakai sepatu bolongnya karena belum mampu beli yang baru. Jadi posisi saya di pertengahan lah.

Btw entah kaki saya tajam atau memang kualitas sepatu merk itu tadi agak kurang, sepatu yang saya pakai nggak pernah bertahan lebih dari setahun, Sebagian besar malah rusak dalam satu semester. Tapi alhamdulillah prinsip orang tua saya kalau untuk sekolah jangan kurang-kurang.

Masuk SMA, pertama kalinya saya punya sepatu yang agak mewah merk Reebok, dikasih sama om. Warna hitam juga tapi ada silver-silvernya dikit. Walaupun agak naik kelas, sikap saya terhadap sepatu nggak berubah. Satu sepatu itu yang saya pakai untuk sekolah, jalan-jalan, sepedaan, bahkan kondangan. Tapi nggak pernah saya pakai kotor-kotoran, Sebuah Reebok adalah barang mewah waktu itu.

Sikap bahwa belum beli sepatu baru kalau yang lama belum rusak juga berlaku, Tapi karena ini lebih mahal ternyata kualitasnya lebih bagus dan lebih awet. Harga yang lebih mahal itu jadi reasonable. Berikut-berikutnya kalau beli sepatu saya milih yang bakoh sekalian kaya ini.

Alhamdulillah semakin kesini saya bisa memiliki beberapa pasang sepatu sekaligus. Tapi ini mungkin tetap tidak akan memuaskan @hitmansystem yang bilang pria harus punya minimal 3 sepatu:

1. Dress shoe buat acara formal
2. Sneaker buat acara non-formal atau casual
3. Training/running shoe buat olahraga




Saya baru punya dress shoe sehari sebelum sidang sarjana. Sepatu itu cuma saya pakai 2 kali: pas sidang itu dan pas wisuda. Hampir-hampir saya lupa naruh sepatu itu dimana.

Sneaker saya nggak punya. Sebagai gantinya saya beli selop Skecher yang saya pakai untuk ngampus, ke mall, nonton film, makan, dan lain sebagainya. All terrain banget. Kalau pergi-pergi yang melibatkan banyak jalan kaki saya pakai sepatu running.

Sepatu olahraga ini yang lebih baik, saya punya beberapa dari berbagai merk: sepatu running, sepatu futsal, sepatu badminton, sama ada sepatu bola tapi sudah rusak. @hitmansystem tau nggak sih kalau beda olahraga beda sepatunya.

Selera saya aneh? mungkin. Tapi dengan latar belakang saya seperti itu tadi saya punya threshold sendiri dalam menentukan acara apa pakai sepatu apa. Pasti beda dengan anak ibukota yang sejak kecilnya sudah dikenalkan dengan berbagai macam sepatu untuk acara-acara tertentu.

Tapi saya juga tidak benar-benar menutup mata untuk fashion. Sejak kecil saya diajarkan untuk bisa menempatkan diri dan menghormati orang lain. Kalau saya punya kesempatan ketemu presiden atau menteri pasti saya akan pakai sepatu resmi. Tapi saya pernah presentasi di depan wakil rektor ITB dan cuma pakai sepatu lari.

Saya nggak berniat menihilkan standar well-groom yang ada di masyarakat. Tapi saya tetap memperhatikan fungsi dan rasionalitas dalam memilih alas kaki. Doakan saya dapat istri yang mengerti fashion sehingga bisa mem-permak saya agar lebih trendy wkwkw