Anak Asrama


Selama hampir dua tahun bekerja, mayoritas klien yang saya hadapi berasal dari kalangan militer. Beberapa kali pula saya masuk ke lingkungan pendidikan militer untuk urusan pekerjaan. Saya pernah melihat barak tempat siswa beristirahat, melihat tentara lari untuk menjaga berat badan tetap ideal, dan menyaksikan betapa hirarki pangkat dan jabatan begitu dijunjung tinggi di angkatan.

Saat mengerjakan suatu alat di Pusdikkav Padalarang, setiap pagi saya melihat siswa yang akan masuk kelas berjalan  ke komplek pendidikan dengan berbaris sambil menyanyikan lagu-lagu. Begitu pula sore harinya ketika selesai kelas. Hanya langkah biasa, bukan langkah tegap, tapi lagu-lagu itu membuat mereka tidak bicara satu sama lain dan terpisah pisah di jalan. Sangat berbeda dengan suasana pendidikan sipil.

Saya gagap saat pertama kali berpapasan dengan siswa lalu mereka hormat pada saya. Saya tidak mengira akan mendapat sikap hormat karena waktu itu hanya sendirian. Ternyata itu semacam kode etik mereka untuk hormat kepada tamu sipil siapapun itu. Siswa di lingkungan pendidikan militer hampir tidak punya waktu untuk bersikap suka-suka, bahkan ke masjid pun mereka datang dengan berbaris dan mengenakan pakaian pesiar. Meskipun tidak semua karakter ketentaraan saya suka, tapi menyaksikan kedisiplinan di tingkat siswa berkesan untuk saya.


Lalu saya punya teman yang semasa kuliah dulu tinggal di sebuah pondok pesantren mahasiswa di daerah Tubagus Ismail Bandung. Kalau tidak ada keperluan yang mendesak di kampus, dia akan pulang sebelum maghrib karena bada salat maghrib ada taklim yang harus diikuti. Kegiatan berlanjut sampai menjelang malam.

Pagi hari dia bangun jam 3 untuk memulai kegiatan pondok. Dia baru punya waktu untuk mempersiapkan kuliah selepas ceramah subuh. Hari-hari tertentu ada piket untuk membersihkan asrama, masjid, dan kamar mandi. Siang hari tidak ada kegiatan karena santri disana sebagian besar mahasiswa dan ada beberapa anak SMA.

Saya beberapa kali datang ke pondok tempat teman saya ini tinggal. Di sana saya juga merasakan suasana yang berbeda dibandingkan lingkungan anak kos pada umumnya. Meskipun tidak mencolok, tapi teman-teman yang tinggal di sana memiliki tingkat disiplin di atas rata-rata. Terutama dalam hal bangun pagi dan prioritas aktivitas.

Militer dan pondok pesantren adalah dua tempat dimana kedisiplinan dipaksakan. Kata dipaksakan mungkin kurang tepat dan kesannya agak negatif. Tapi itu saya gunakan untuk membedakan dengan kebanyakan institusi pendidikan lain dimana kedisiplinan hanya sebatas himbauan.

Dalam sekolah-sekolah umum siswa tertib di dalam kelas. Namun ketika jam istirahat atau bel pulang sekolah dibunyikan mereka bebas melakukan yang ingin dilakukan. Berbeda dengan militer dan pondok dimana di luar jam pelajaran mereka masih berada dalam sistem dan aturan. Hasilnya mereka punya ketahanan lelah lebih panjang terhadap peraturan.

Mereka tidak mudah lelah ketika diminta melakukan sesuatu yang tidak disukai, tidak rewel, dan tidak menuntut kenyamanan. Nilai-nilai lain seperti kejujuran, ketegasan, toleransi, dan lain sebagainya tergantung pada bagaimana masing-masing siswa belajar. Tapi bisa dipastikan kedisiplinan yang dipaksakan tadi tertanam.

Sekarang ini makin banyak institusi yang sadar dengan pentingnya kedisiplinan untuk ditekankan, bukan hanya dikatakan. Beberapa lembaga membangun sekolah berasrama untuk memastikan kehidupan murid-muridnya terpantau 24 jam. Di tempat lain berdiri asrama yang membina siswa atau mahasiswa di luar jam sekolah atau kuliah normal seperti PPM tempat teman saya tinggal tadi.

Tapi institusi pendidikan hanyalah  penyedia layanan. Yang lebih penting  adalah bahwa generasi yang sedang belajar sadar bahwa kedisiplinan itu penting dan kadang harus dipaksakan untuk masuk. No pain, no gain. Default-nya orang tidak suka melakukan apa yang dia tidak suka. Tapi jika orang itu diberi pengertian bahwa kebaikan jangka panjangnya lebih besar daripada kesulitan yang diderita, bisa diharapkan orang itu akan menerima.

Disiplin tidak sesempit taat aturan. Mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan adalah taat aturan. Tapi sadar untuk tidak menggunakan bahu jalan, mengalah pada ambulan, dan tidak melebihi batas kecepatan bahkan ketika terburu-buru itu adalah disiplin. Aturan bisa diajarkan, tapi disiplin harus ditanamkan.

0 comments :

Post a Comment