Zonasi



Saya akan jadi orang yang berbeda andaikata sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru diterapkan sejak sepuluh tahun yang lalu. Jarak rumah ke SMP dan SMA tempat saya belajar lebih dari 10 kilometer. Secara region kecamatan juga jauh dan tidak berbatasan. Mau aturan seperti apapun jika menyangkut jarak maka saya sangat tidak diuntungkan.

Sedikit banyak saya bisa membayangkan patah hatinya orang tua dan calon murid yang gagal masuk ke sekolah impiannya karena sistem zonasi. Jika zonasi ini konsisten dilakukan dan sukses, dalam 5 atau 10 tahun ke depan embel-embel sekolah favorit akan hilang.

Siswa dan orang tua yang melek informasi paham itu. Tapi sebagian masyarakat, simbah, pakde, bude, terlanjur menganggap bahwa yang terbaik itu SMA satu, misalnya. Hanya karena selama puluhan tahun sekolah itu adalah sekolah terbaik di kota dengan banyak alumninya berhasil jadi orang.

Tidak mudah mengubah paradigma masyarakat seluruh Indonesia bahwa atribut sekolah favorit itu fana. Bahkan dalam beberapa tahun awal penerapan zonasi, menurut saya sekolah favorit masih akan lebih unggul karena terlanjur memiliki fasilitas dan budaya lebih baik. Setuju atau tidak pada kebijakan zonasi, harus diakui beberapa angkatan pertama yang mengalami ini seperti ditumbalkan.

Perlu diketahui bahwa sistem zonasi ini bisa berbeda di tiap daerah. Kota Bandung malah sebenarnya sudah punya sistem zonasi sejak tahun-tahun lalu namun peraturannya sedikit berbeda. Saya tidak begitu paham detailnya. Informasi yang saya gali untuk menulis ini lebih banyak bersumber dari daerah asal saya, Kabupaten Bantul.

Pertanyaan yang muncul adalah adilkah kebijakan ini? Dengan pemberian poin lebih bagi pendaftar yang bertempat tinggal di wilayah tertentu tentu sebuah keuntungan bagi keluarga yang sejak dulunya tinggal dekat dengan sekolah negeri favorit. Bahkan menurut kabar harga tanah di dekat SMA saya dulu sampai naik gara-gara kebijakan zonasi ini.

Sebenarnya zonasi tidak menutup kemungkinan untuk bersekolah jauh dari rumah. Hanya saja tidak diuntungkan karena tambahan poin tidak sebanyak yang rumahnya dekat. Di Bantul, orang yang tinggal di grup yang sesuai dengan sekolah tujuan mendapat nilai tambahan 40, sedangkan di luar itu hanya 20.

Konsekuensi dari perbedaan bonus poin ini adalah si calon siswa harus mendapat nilai ujian yang lebih tinggi. Di sisi lain pemberian nilai dari jenjang sebelumnya juga agak rancu. Tidak seperti 10 tahun yang lalu dimana nilai UN itu sakral dan murni tanpa campur tangan pihak sekolah. Namanya aja NEM alias nilai ebtanas murni.

Jalan lain masih ada yaitu melalui jalur prestasi. Namun jalur ini juga terjal sebab mensyaratkan nilai tinggi dan kepemilikan piagam kejuaraan/prestasi. Belum lagi kuota terbilang kecil hanya sekitar 5% dan piagam yang diajukan harus dikurasi di tingkat dinas. Sekolah tidak berhak menentukan bobot nilai masing-masing piagam.

Sebaliknya, pendaftar yang rumahnya berjarak kurang dari 500 meter dari sekolah punya jalur cepat yang namanya jalur lingkungan. Kata teman saya nilainya sejelek apapun harus diterima oleh sekolah. Domisili ditunjukkan oleh KK dan sudah ada daftarnya siapa yang boleh masuk jalur ini. Ubah KK bisa jadi solusi? Jangan salah, syarat pindah KK paling lambat 6 bulan sebelum pendaftaran.

Mengubah kompetisi jadi kolaborasi
Ketika saya masih SMP, yang namanya ujian itu kejam. Hasil ujian akan diranking dari pertama sampai terakhir lalu daftarnya dicopy dan dibagikan ke seluruh siswa. Komplit nilai setiap mata pelajaran, rata-rata, ranking per kelas, dan ranking paralel. Semua siswa dan orang tua bisa lihat siapa yang ranking 1 dan siapa ranking terbawah. Kejam kan? dan ini terjadi setiap semester.

Ketika saya masuk SMA, sekolah lebih berperasaan. Di akhir semester yang dibagikan hanya raport. Daftar ranking hanya guru yang pegang, boleh lihat tapi tidak boleh dibawa pulang. Kalau pandai merayu guru boleh difotocopy tapi tetap tidak boleh disebarkan. Lama kelamaan malah tidak diranking, hanya nilai saja yang diberitahukan.

Entah ini inisiatif guru, kepala sekolah, kepala dinas, atau kebijakan dari menteri, tapi rasanya akhir-akhir ini kecenderungannya perankingan semakin dihilangkan. Penghargaan untuk yang berhasil juara tetap ada, namun tidak ada pengumuman siapa yang ada di bawah. Walaupun kebijakan yang menggunakan klasifikasi masih ada, misalnya kuota SNMPTN.

Setelah pada tataran siswa, tingkat selanjutnya adalah sekolah. Kebijakan zonasi bertujuan salah satunya untuk meratakan mutu sekolah. Sehingga perangkingan antar sekolah menjadi tidak relevan lagi. Selama ini sekolah bersaing menjadi yang terbaik di suatu kota atau provinsi, tapi dengan adanya zonasi sepertinya praktek seperti ini pelan-pelan akan hilang, berganti dengan usaha membentuk siswa siswinya mencapai level tertinggi yang mungkin dicapai. Tanpa harus dibandingkan dengan sekolah lain.

Sekarang sekolah favorit harus mau menerima murid yang tidak favorit. Sedangkan sekolah yang selama ini agak tertinggal berpotensi mendapat bibit unggul. Peta kompetisi antar sekolah akan berubah, bahkan hilang. Jika semua komponen mendukung, termasuk masyarakat, bukan tidak mungkin malah kolaborasi-kolaborasi antar sekolah yang akan terbentuk, entah seperti apa bentuknya.

Sekolah Swasta
Tidak semua keluarga di Indonesia melihat sekolah swasta sebagai solusi menanggapi zonasi. Biaya yang lebih mahal dan terbatasnya sekolah swasta berkualitas (terutama di daerah) adalah alasannya.

Namun keluarga yang mampu membiayai putra putrinya sekolah di swasta mungkin akan mengambil ini daripada masuk sekolah negeri yang kurang diminati. Perlu diingat bahwa urusannya bukan hanya kualitas pendidikan, tapi tekanan dan bisikan kanan kiri juga menjadi pertimbangan orang tua memasukkan anaknya di sekolah mana.

Kalau bicara pembangunan manusia secara keseluruhan, rasanya sekolah swasta tidak banyak berpengaruh jika dibandingkan dengan sekolah negeri. Swasta hanya subur di kota-kota besar saja, sedangkan di daerah tidak banyak sekolah swasta yang dibina dengan baik. Secara jumlah juga kalah dengan sekolah negeri yang tiap kecamatan ada.

Namun pada event-event tertentu, misalnya olimpiade dan kejuaraan serupa, sekolah swasta bersuara lantang. Mulai dari keluarga Pasiad, Penabur, Insan Cendekia, Sutomo, dan lain sebagainya setiap tahun mendominasi perolehan medali Olimpiade Sains Nasional. Hanya ada beberapa sekolah negeri yang bisa menembus sampai jajaran elit ini.

Bisa dibayangkan jika bibit-bibit unggul memilih masuk sekolah-sekolah itu daripada sekolah negeri dekat rumah, maka mereka berpotensi semakin berkuasa. Di sisi lain SMA 8 Jakarta, SMA 3 Semarang, SMA 1 Jogja, SMA 5 Surabaya, SMA 3 Bandung, dan sebagainya terancam kehilangan penerus dinasti emasnya karena masalah zonasi.

Perguruan Tinggi
Satu lagi hal yang perlu dicermati terkait zonasi adalah bagaimana perguruan tinggi melihat kebijakan ini. Di tahun saya masuk bangku perkuliahan, salah satu pertimbangan dalam seleksi SNMPTN adalah indeks sekolah yang mencerminkan kualitas umum sekolah asal. Dengan ada zonasi, faktor ini tentu jadi tidak relevan lagi.

Sekolah yang selama ini indeksnya tinggi belum tentu tetap lebih baik dalam 5 tahun ke depan dibandingkan yang sebelumnya punya indeks lebih kecil. Variasi kemampuan siswa dalam satu sekolah yang melebar dengan adanya zonasi juga membuat indeks ini tidak valid lagi.

Tapi sebagai sebuah kebijakan skala nasional rasanya tidak mungkin perguruan tinggi tidak tahu akan hal ini. Dengan kebijakan yang biasa berubah dari tahun ke tahun semoga adik-adik yang sekarang menjadi generasi kena zonasi bertemu kebijakan yang menguntungkan ketika ingin masuk jenjang pendidikan berikutnya nanti.

Manurut saya kebijakan zonasi yang terlanjur diberlakukan ini harus dijalankan dengan konsisten dalam waktu yang panjang. Sehingga tujuan pemerataan benar-benar bisa tercapai. Jika tidak maka sungguh malang calon siswa dan orang tua serta guru dan kepala sekolah yang sekarang dipusingkan oleh efek samping zonasi.

Jajaran pengambil kebijakan mesti tahu bahwa di bawah, di sekolah-sekolah, banyak orang tua melayangkan protes. Kepala sekolah dan guru adalah yang pertama kena, padahal beliau-beliau hanya menjalankan perintah. Jangan sampai pengorbanan yang telah diambil sia-sia dan hanya untuk coba-coba.

Ing ngarsa sung tuladha
Ing madya mangun karsa
Tut wuri handayani

0 comments :

Post a Comment