Cerita dalam Sesuap Sushi



Baru enam bulan ini saya kenal sushi. Dulu saya pikir kalau mau makan ikan ya mending dibakar atau digoreng sekalian. Tapi ternyata makan sushi bukan sekedar bikin perut kenyang. Rugi kalau cuma untuk kenyang, sensasi makannya yang susah didapat dalam makanan lain di dunia.

Sejauh ini sushi terenak yang pernah saya makan adalah yang di Aeon Mall Cakung. Saya belum nyoba yang di Aeon Mall BSD, harusnya sama enaknya. Tempura di Aeon juga enak, salah satu mall dengan kuliner paling sip menurut saya. Tapi kalau yang paling seru makannya adalah di kaitenzushi-nya Sumo Sushi di Lippo Plaza Jogja. Kaitenzuzhi tu itu yang sushi-nya jalan di conveyor belt.

Menurut saya sushi adalah antitesis dari makanan-makanan barat yang konsepnya mencampur aduk berbagai jenis bahan, sebut saja burger dan pizza. Sementara sushi dibuat dengan sangat sederhana. Sushi yang original dan mahal dibuat hanya dengan meletakkan irisan tuna atau ikan lain di atas sekepal nasi, lalu dioles dengan sedikit shoyu.

Ketika setiap koki barat punya resep rahasia, master sushi membuat sushinya tepat di hadapan para pelanggannya. Karena hampir-hampir tidak dimasak, rahasia kenikmatan sushi ada pada bahan. Resep rahasianya ada di naluri pembuatnya itu sendiri, yaitu kejelian untuk memilih ikan terbaik sebagai bahan sushinya.

Jiro Ono adalah salah satu pembuat sushi paling terkenal di Jepang. Dia turun tangan untuk memilih langsung bahan yang akan digunakannya. Pagi hari dia pergi ke Tsukiji market, mencari ikan dan udang terbaik untuk tamu-tamunya hari itu. Tsukiji fish market adalah pasar ikan yang sangat besar di Jepang dan terkenal dengan aktivitas lelang tunanya.
sumber gambar

Tamu Jiro Ono terbatas dan harus reservasi jam dulu jika ingin datang, tidak bisa datang sewaktu-waktu. Satu shift hanya ada kurang lebih 8 tamu dan dilayani langsung olehnya. Ikan segar diiris dan nasi dikepal tepat di depan mata pengunjungnya. Dari tangan Jiro Ono sushi diletakkan di hadapan tamu dan disantap saat itu juga. Sebuah dokumenter berjudul Jiro Dreams of Sushi dibuat untuk mengapresiasinya yang telah menjadikan sushi bukan sekedar makanan namun juga sebuah karya seni.

sumber gambar

Keistimewaan sushi adalah kita dibuat menikmati tiap suapannya. Sungguh sayang melewatkan sensasi meski hanya sebuah suapan saja karena setelah itu langsung habis. Beda dengan sepiring nasi atau seloyang pizza yang bisa dihabiskan dalam belasan suapan. Tak masalah sambil bicara atau memikirkan hal lain karena masih ada suapan berikutnya. Beda dengan sushi, lupakan yang lain dan nikmati saja.

Apalagi sushi tidak bisa dibilang murah. Untuk pasar Indonesia, satu suap sushi dijual dalam varian harga 5 hingga 15 ribu. Di tempat yang lebih mewah mungkin lebih tinggi dari itu. Plus ada resiko keselak kalau berbicara ketika mulut penuh dengan sushi. Ini membuat makin tidak baik mengunyah sushi sambil bicara. Yaa makanan lain juga tidak boleh sebenarnya. Ngobrol di sela-sela makan saja.

Kalau ada yang belum pernah makan sushi, saya sarankan segera mencoba. Kalau bisa yang ikan mentah sekalian biar merasakan bahwa ikan bisa dimakan mentah, kalau ayam sih susah. Entah kenapa menurut saya kedai sushi termasuk tempat yang nyaman untuk nongkrong dan ngobrol. Mungkin karena makannya simpel, tidak banyak perkakas sendok, garpu, piring, panggangan, kompor, dan lain sebagainya yang memenuhi meja, layaknya budaya masak di meja makan yang sedang banyak berkembang.

Sekarang sushi juga semakin beragam, menyesuaikan dengan lidah orang setempat. Tapi citra sederhana dalam sekepal sushi tetap terjaga. Batasan-batasan bahwa tidak banyak cara merekayasa rasa sushi sehingga harus dipilih bahan terbaik serta ekslusifnya sebuah sushi sehingga harus dihayati tiap suapnya menunjukkan bahwa batasan dapat memunculkan keindahan dalam hal lainnya.


@chandranrhmn

0 comments :

Post a Comment